Identifikasi Permasalahan Waralaba Di Indonesia

Beberapa waktu yang lampau saya memberikan seminar di Bandung. Pihak terkait di sana meminta kami untuk membahas tema terkait dengan identifikasi masalah waralaba di Jakarta. Saya sampaikan kepada mereka bahwa permasalahan waralaba baik di Jawa Barat atau di Indonesia kurang lebih sama. Maka kemudian saya angkat tema yang lebih luas menjadi “Identifikasi Permasalahan Waralaba di Indonesia”, karena kami nilai permasalahan waralaba di Indonesia adalah spesifik.

Untuk itu kami membagi atau memetakan permasalahan waralaba di Indonesia ke dalam dua bagian. Bagian pertama adalah identifikasi yang berkaitan dengan konsep bisnis waralaba. Dan bagian kedua identifikasi yang berkaitan dengan pengelolaan bisnis waralaba.

Bagian pertama identifikasi yang berkaitan dengan konsep bisnis waralaba meliputi pemahaman akan konsep bisnis waralaba yang sesungguhnya. Bisnis franchise adalah suatu konsep pemasaran dan strategi perluasan; yang kemudian berkembang menjadi konsep bisnis yang unggul dengan memenuhi kriteria-kriteria.

Kriteria waralaba yang dimaksud sebagaimana yang termaktub dalam PP 42 Tahun 2007, meliputi atas 6 kriteria, yaitu memiliki ciri khas usaha, terbukti sudah memberikan keuntungan, memiliki standar atas pelayanan barang dan jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis, mudah diajarkan dan diaplikasikan, adanya dukungan yang berkesinambungan, dan hak dan kekayaan intelektual yang telah terdaftar.

Berikutnya, franchising atau konsep bisnis franchise. Franchising adalah suatu proses mengkemas suatu usaha yang telah sukses dan bertahan, yang kemudian diberikan pada orang lain untuk dipakai dan mengembangkan keberhasilan bisnisnya pula. Yang perlu dipahami, franchising adalah bukan partnership, karena dalam partnership para partner akan berbagi keuntungan dan kerugian bersama dalam satu usaha yang sama.

Sementara dalam franchise tidak demikian, antara franchisor dan franchisee memiliki bisnis masing-masing di mana baik keuntungan dan kerugian bisnis franchisee ditanggung masing-masing, tidak melibatkan siapa pun karena kepemilikan bisnis dimiliki secara pribadi.

Selanjutnya, yang perlu ditekankan bahwa franchise bukan usaha untuk jangka pendek, tapi untuk jangka panjang dan bukan jalan keluar untuk mengatasi masalah keuangan. Banyak orang berpikir dengan memfranchisekan usahanya dia akan terbebas dari masalah keuangan. Franchise adalah memberikan yang terbaik kepada orang lain dari bisnis kita dengan imbalan tertentu dari royalti dan seterusnya.

Franchise juga harus berawal dari suatu usaha yang telah berhasil dan kemudian dikembangkan karena pangsa pasarnya masih besar. Franchise merupakan peluang bisnis, namun peluang bisnis atau Business Opportunity itu sendiri belum tentu waralaba.

Franchise harus memenuhi kriteria-kriteria franchise dan sudah berjalan lebih dari 5 tahun. Franchise bukan untuk akal-akalan dengan menambahkan kata-kata tradisionil, personal dan syariah serta tidak mengenal diskriminasi. Dalam franchise, franchisee berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan selama dan sesudah perjanjian franchise, itu etika dan biasa termaktub dalam perjanjian.

Dan yang terakhir, dalam konsep franchise ada istilah proses terminasi, yaitu suatu proses di mana franchisee tidak dibenarkan bersaing, baik langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan atau memanfaatkan pengetahuan franchise yang telah diperolehnya. Dalam suatu perjanjian franchise antara seorang franchisor dan seorang franchisee, terbawa pula dua (2) pihak yang tidak ikut menandatangani perjanjian tersebut, yaitu pihak franchisee lain dalam jaringannya dan konsumen.

Bagian kedua, identifikasi permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan bisnis waralaba. Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 300 usaha waralaba asing dan 2100 usaha waralaba dan peluang usaha (BO) nasional menurut data beberapa tahun tersebut. Sayangnya, dari jumlah 2100 hanya tidak lebih dari 100 usaha yang layak disebut waralaba. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, berikut penjabarannya.

Kurangnya jumlah waralaba yang berkembang di Indonesia disebabkan karena kurangnya unsur entrepreneurship yang dimiliki oleh sebagian besar pengusaha peluang usaha yang cukup banyak. Perilaku yang mau cepat berhasil menyebabkan para pemilik usaha tidak mau berpikir panjang memajukan usahanya ke depan, pikirannya sudah money oriented, tidak berpikir jangka panjang.

Selain itu, umumnya pelaku usaha tidak mempunyai visi dalam berbisnis, mengerjakan secara asal-asalan dan tidak cukup tekun dan ulet mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Mereka ingin cepat jadi dan cepat puas serta tidak mengerti kriteria-kriteria yang harus dipenuhi, yaitu di mana keunggulan pola franchise seyogyanya mesti memanfaatkan skala ekonomi, sudah dijalankan secara effisien, effektif dan pola operator adalah pemilik.

Tidak sampai disitu, masalah yang muncul adalah menjaga perbandingan dapur dan gerai, sehingga tidak terjadi ketidakseimbangan. Itu yang menyebabkan biaya overhead menjadi berat sebelah dan tidak terbagi dengan baik. Seharusnya usaha waralaba juga harus memperhitungkan secara cermat skala usaha-usaha gerobak yang terlalu kecil sehingga mengalami kesukaran dalam bertahan, karena usaha terlalu kecil sehingga hanya untuk habis dimakan dan dipakai sendiri.

Sementara dari sisi franchisor, mereka hanya bisa hidup dan bertahan dengan mendasarkan pada royalty fee dari franchisee d.p.l. Dengan begitu, franchisor menjadikan franchisee sukses.

Karena itu, franchisor harus menguasai secara menyeluruh segala usaha, kendala-kendala dan telah mengatasi masalah yang dihadapi dari A sampai Z, mulai dari penentuan segmen pelanggan, program pemasaran usaha dan produk atau jasa, cara menjual dan mengelola bisnis, merekrut SDM, melatihnya dan seterusnya.

Lalu dia juga harus membuat penentuan lokasi, administrasi atau sistem akuntansi, rekrutmen pegawai, penyusunan SOP, menjalankan standarisasi, program pelatihan dan seterusnya.

Demikian berbagai pemasalahan yang mesti dipahami oleh setiap insan franchise untuk menjadikan industri franchise yang lebih sehat dan berkembang dengan baik di Indonesia.

Anang Sukandar

Chairman Asosiasi Franchise Indonesia