HKI sebagai “Tameng Perlindungan” atau “Senjata Untuk Mematikan Pesaing”

Dalam Franchising, HKI tidak boleh dipandang sebelah mata, karena sejatinya yang menjadi core dalam bisnis franchise/waralaba yaitu Kekayaan Inteletual (Intellectual Property). Kekayaan Intelektual (KI) dalam arti sederhana yaitu nilai ekonomi yang dihasilkan dari olah/daya pikir kita. KI lebih didasarkan pada kekuatan imajinasi. Seperti yang dikatakan Albert Einstein “imajinasi adalah hal yang lebih penting dibandingkan ilmu pengetahuan”. Sedangkan nilai ekonomi biasanya saya ukur dalam mata uang rupiah ataupun dollar. Untuk sesi 1 ini saya fokuskan pada merek yang merupakan hal terpenting dalam franchise yang juga merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual. Sehingga bila diterjemahkan dalam konteks ini KI berarti “berapa rupiahkah yang dapat dihasilkan dari merek Anda?” 

Bagi saya yang menganut budaya timur dan cenderung konservatif berpendapat bahwa pendaftaran merek bukan untuk semua orang, bisnis jalan dulu dan menghasilkan laba baru dipertimbangkan untuk pendaftaran merek. Sebagai bukti di Indonesia dalam setahun, merek yang didaftarkan di Direktorat Merek hanya sekitar 50.000 aplikasi itupun sudah termasuk pendaftaran merek asing, mungkin setara dengan pendaftaran merek di Singapore, suatu angka yang kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Apakah tukang bakso di kaki lima harus mendaftarkan mereknya? Apakah penjual es di jalan perlu juga mendaftarkan merek es-nya?  

Mungkin ada rumus sederhana yang saya buat untuk klien, kapan seseorang harus mendaftarkan mereknya, yaitu bila    P > TM,  maka merek tersebut perlu didaftarkan

P    =   laba/profit yang dihasilkan dari merek Anda yang diukur dengan rupiah

TM  =  biaya untuk mengurus pendaftaran merek juga diukur dengan rupiah

Apabila merek Anda menghasilkan nilai rupiah yang lebih tinggi daripada biaya pendaftaran mereknya, maka saran saya segera daftarkan merek Anda. Sebagai contoh: bila biaya pendaftaran merek termasuk biaya penelusuran adalah Rp 2.000.000 (melalui Konsultan HKI), sedangkan merek ANDA sebulan bisa menghasilkan laba bersih (net profit) sebesar Rp 5.000.000, maka saran saya segera daftarkan merek Anda. Dengan menggunakan merek tersebut berarti pasar menerima dengan baik merek Anda, sehingga usaha Anda jalan dan dapat menghasilkan laba Rp 5.000.000/bulan. Namun resiko untuk didaftar lebih dulu oleh pihak lain/pesaing anda tetap ada. 

Kita pasti setuju bahwa semua pebisnis berusaha dan memikirkan cara untuk memajukan bisnisnya. Dan mereka mencurahkan segala tenaga, pikiran, dana dan waktu untuk mensukseskan usahanya tersebut. Jarang saya temukan pebisnis yang telah memiliki rencana komplit. Dalam arti dia telah menyiapkan produk untuk sukses di pasar dan telah memikirkan cara, ketika nanti produknya “ditembak” oleh pesaingnya. 

Malahan pernah saya temukan ada seseorang yang selalu memonitor gerak gerik pemimpin pasarnya (market leader) di salah satu bisnis tertentu melalui HKI, dengan cara mendaftar semua merek yang telah diinformasikan pemimpin pasar lewat media masa. Misalkan jika pemimpin pasar memberikan slogan untuk produknya yaitu “Tidak Lapuk Oleh Jaman”, maka orang tersebut segera mendaftarkan slogan yang sama dalam merek. Padahal pemimpin pasar bisa saja lengah ataupun lalai untuk mendaftarkan merek slogan tersebut. Tidak banyak yang tahu bahwa slogan dapat didaftar sebagai merek. Pada kasus ini merek bukan lagi sebagai tameng perlindungan, namun telah digunakan sebagai senjata untuk “mematikan” pesaing dengan cara yang tidak terpuji.

Klasifikasi merek di Indonesia mengikuti pengaturan kelas barang dan jasa internasional dengan perjanjian NICE Classification of Goods and Services yang saat ini telah direvisi hingga edisi ke-9, dimana merek dagang (trademark) dikelompokkan dalam kelas1-34 dan merek jasa (service mark) kelas 35-45. Sering saya lihat dalam perjanjian waralaba selalu yang disebutkan adalah merek dagang, padahal waralaba yang ditawarkan adalah restoran dan menurut saya lebih tepat yang disebutkan adalah merek jasa atau cukup dengan kata merek. Dengan hanya memahami klasifikasi merek, kesalahan sepele yang mengakibatkan kerugian besar dan fatal bagi kedua belah pihak baik pemberi waralaba (franchisor) maupun penerima waralaba (franchisee) dapat dihindari. 

Dari pihak franchisee sebelum membeli suatu waralaba berhak menanyakan status merek dari franchisor apakah hak mereknya sudah dapat (granted), masih permohonan (proses), telah ditolak atau jangan-jangan belum pernah dimohonkan pendaftaran mereknya.

Banyak hal yang dilakukan seseorang sebelum mewaralabakan usahanya dalam kacamata HKI (Hak Kekayaan Intelektual), khususnya merek yaitu:

  1. Memeriksa/menelusuri Merek yang akan didaftarkan (free check via internet di situs resmi Ditjen HKI di http://ipdl.dgip.go.id)
  2. Mendaftarkan merek untuk berbagai barang kelas untuk barang dan atau jasa sejenis yang nantinya bakal diperluas (bila diambil dari kasus tadi, merek Bread PIT selain didaftar untuk toko roti (kelas 35), perlu juga mendaftar untuk roti sebagai merek dagang (30) dan kafe/resto (kelas 43) sebagai merek jasa.
  3. Perlu menghindari menggunakan merek terkenal (well-kown mark) misalkan Google, Nokia, DoCoMo, dll.
  4. Mempertimbangkan menggunakan nama perusahaan sebagai pemilik merek misalkan PT. Bread PIT Indonesia untuk memperkuat posisi hukum, bila suatu saat terjadi sengketa merek (membuktikan bahwa kita mendaftarkan merek dengan itikad yang baik bukan itikad buruk/bad faith)
  5. Mengkomunikasikan secara jujur kepada franchisee jenis HaKI yang telah dimiliki saat ini 

Sedangkan bagi franchisee perlu memeriksa

  1. Sudah tepatkah jenis barang dan atau jasa yang didaftarkan oleh franchisor? (termasuk jenis barang ataupun jasa yang diklaim)
  2. Apakah status merek tersebut telah terdaftar dengan kode R dilingkar ataukah masih dalam status permohonan dengan kode TM?
  3. Apakah merek tersebut telah habis masa perlindungannya (perlindungan merek dihitung 10 tahun sejak tanggal penerimaan/filing date)
  4. Apakah merek tersebut telah dialihkan haknya kepada pihak lain?

Apabila Anda telah berniat untuk mengurus merek, maka mohon dibedakan pengurusan merek dengan pengurusan ijin-ijin yang lain. Mengurus SIUP bisa terbit dalam 2 minggu, sedangkan mengurus KTP bisa cukup sehari saja. Pertanyaannya mengapa mengurus merek memakan waktu yang lama? (14 bulan 10 hari versi UU no.15/2001 tentang  merek, fakta di lapangan bisa 2-3 tahun dengan catatan tidak mengalami masalah di pemeriksaan dan saat pengumuman/publikasi ).

Benny Muliawan, Konsultan HKI dari BNL Patent