

Asal memiliki konsep dan manajemen bisnis yang matang, franchise gerobakan pun bisa bersaing dengan merek restoran.
Usaha franchise masuk dalam katagori sebagai bisnis unggulan dan istimewa dibandingkan dengan sistem bisnis biasa. Derajatnya pun sudah lebih tinggi, karena bisnis ini sudah melewati etape trial and error. Sehingga semua atribut bisnisnya bisa dikatakan sudah matang semua, mulai dari brand, sistem, konsep, manajemen, hingga cash flow.
Maka dari itu, wajar saja jika image franchise pun dimata masyarakat pebisnis memiliki gambaran tersendiri. Mereka sudah punya gambaran franchise itu adalah merek semacam restoran Mc D, Pizza Hut, Dunkin Donuts, KFC, Burger King, Domino Pizza, A&W, Subway, CFC, Mr Baso, dan lain sebagainya.
Semua merek bisnis tersebut memang sudah menancap kuat di benak banyak orang sebagai bisnis franchise. Jaringan bisnisnya dianggap mampu menularkan entrepreneurship bagi banyak orang. Cabang bisnisnya diyakini membantu calon-calon investor yang ingin memiliki merek tersebut dan dikembangkan di daerahnya.
Namu demikian, ketika belakangan ini kencang franchise dengan konsep gerobakan dengan nilai investasi sekitar Rp 10 juta, 20 juta, bahkan hingga Rp 50 juta, maka image masyarakat pun mulai terbelah. Ada yang berpandangan bahwa ini hanyalah sekedar peluang usaha yang belum mencapai level bisnis franchise. Sebagian berpandangan bawah ini pun bisa dikatagorikan bisnis franchise.
Yang menjadi pertanyaan, akankah image franchise berubah menjadi franchise gerobakan jika franchise semacam ini berkembang? Atau haruskah pemerintah memperketat aturan franchise sehingga jangan sampai yang gerobakan disebut franchise?
Menurut saya, franchise memang sudah selayaknya seperti restoran dengan merek-merek seperti yang disebutkan diatas. Merek sudah memiliki sistem bisnis dan merek yang mapan.
Namun saya juga tidak setuju jika peluang bisnis gerobakan tidak bisa disebut franchise. Mereka (bisnis gerobakan) bisa saja disebut bisnis franchise jika memang memiliki konsep bisnis dan daya tahan yang kuat. Masalahnya adalah bukan pada level bisnis, tapi seperti apa sistem dan manajemen yang dikembangkan.
Jika yang gerobakan punya konsep bisnis serta sistem manajamen yang kuat mengapa tidak? Perlu diingat, bahwa brand-brand yang kini menjadi franchise besar awalnya juga dari franchise kaki lima alias gerobakan. Contohnya adalah ES Teler 77. Merek ini awalnya hanya kedai yang mangkal di pinggir jalan. Namun pemiliknya bekerja keras dan menumbuhkembangkannya jadi franchise.
Pun begitu di luar negeri sekalipun, banyak franchise gerobakan atau disana biasa disebut franchise mikro tumbuh dan berkembang menjadi salah satu kontributor bagi pertumbuhan ekonomi negaranya. Biasanya franchise mikro ini diatur dengan baik.
Misalnya Singapura, di negara sana ada suatu tempat yang khusus digunakan untuk franchise mikro, biasanya namanya hawker. Di tempat tersebut franchise mikro diberi fasilitas, lokasinya bersih dan teratur serta dibina dan ditempah.
Merek-merek franchise mikro lainnya seperti Doner Kebab, di Australia merek ini awalnya beroperasi dari gerobakan. Sedangkan di Filipina, banyak franchise mikro yang tumbuh subur disana. Kebanyakan mereka menjual produk semacam waffle atau crepes.
Jadi menurut saya, franchise mikro atau gerobakan seharusnya mempunyai tempat di Indonesia. Tidak perlu ada aturan ketat, namun bisnis ini selayaknya dijalankan dengan konsep dan manajemen yang professional, jangan asalan. Produknya pun harus unggulan.
Merek-merek franchise seperti Kebab Turki Baba Rafi, Kedai Torabika, Crispyku, dan sebagainya biar lah berkembang menjadi franchise gerobakan selama dijalankan dengan sistem dan manajemen yang bagus.
Franchise gerobakan memang kelemahannya adalah mudah ditiru dan gampang dihempas gunjangan iklim bisnis. Namun jika ada visi yang kuat dari pemilik dan mau serius bisnis ini pun bisa menjadi franchise semacam Es Teler 77, Doner Kebab maupun Gado-Gado Boplo.
Anang Sukandar
Ketua Asosiasi Franchise Indonesia