

Banyak istilah ekonomi yang berkembang dewasa ini. Diantaranya adalah istilah ekonomi kapitalis, ekonomi liberal, ekonomi pembangunan, ekonomi sosialis, ada pula ekonomi kerakyatan. Model ekonomi yang disebutkan terakhir, yaitu ekonomi kerakyatan menurut saya adalah model yang paling dekat dengan konsep franchise.
Karena itu saya sangat setuju ketika Presiden Joko Widodo berpidato pada rangkaian acara World Franchise Summit 2016 lalu, di pameran franchise, JCC, Senayan Jakarta, mengatakan bahwa franchise merupakan salah satu konsep bisnis yang bisa mendorong ekonomi kerakyatan.
Sekali lagi, saya sependapat dengan pandangan pak Presiden. Sebab ekonomi kerakyatan merupakan ekonomi untuk orang banyak, ekonomi yang digeluti semua kalangan. Memang kenyataanya sekitar 70-80 % orang Indonesia memilih membuka usaha sendiri dengan buka warung, bikin spatu, tas, kerajinan, dan usaha-usaha rumahan lainnya.
Jadi tidak heran apabila di suatu daerah ada saja usaha kuliner seperti kafe, warung kopi, jual oleh-oleh, tas, pakaian bordiran, dan kerajinan tangan lainnya. Usaha-usaha tersebut mestinya bisa berkembang menjadi usaha unggulan yang tidak hanya dikenal di daerah itu saja. Akan tetapi bisa ekspansi ke berbagai daerah jika dikembangkan lebih lanjut.
Nah, konsep franchise bisa membauat usaha-usaha daerah dan kerakyatan tersebut berkembang lebih lanjut menjadi usaha unggulan.
Makanya, sudah jauh hari saya menekankan, Ekonomi Kerakyatan ini merupakan peluang untuk bisa mengadakan micro franchising. Tidak mudah memang untuk mewujudkan itu, perlu dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah dukungan dari Pemda setempat. Pemda harus ikut aktif, kalau tidak, tidak mungkin bisa berkembang.
Saya kira untuk mendorong usaha daerah menjadi usaha unggulan yang berkembang, tidak harus menunggu pembuktian 10 tahun untuk dikembangkan jadi waralaba. Dalam hal ini memang mereka butuh bantuan dari pihak lain, bisa dari pemilik franchise yang sudah bepengalaman untuk kerja sama mengembangkan usaha waralaba.
Namun demikian, para pengusaha daerah tersebut harus tetap menjadi owner. Konsep dan skema kerja samanya bisa dirundingkan dengan baik. Tujuannya tentu mengembangkan usaha-usaha daerah tersebut, bukan mencaplok usahanya. Makanya sekali lagi harus ada keterlibatan dari pemda sebagai perantara.
Kenapa Pemda mesti berperan? Karena Pemda memang punya tugas untuk mengembangkan usaha-usaha di daerahnya. Dia bisa menjadi perantara kerja sama dengan pihak lain (franchisor). Kalau bisa Pemda juga membantu menyediakan konsultan untuk mengembangkan usaha-usaha daerah menjadi usaha unggulan.
Untuk menuju franchise memang butuh konsultan. Di Singapura ada bantuan dari pemerintahnya ketika membantu pelaku usaha menjadi usaha franchise dengan membiayai 75% dari biaya konsultasinya.
Di Indonesia juga harusnya begitu, sehingga banyak pelaku usaha daerah yang bisa meningkatkan level usahanya menjadi usaha franchise. Lewat franchise, mereka bisa mengembangkan gerainya ke beberapa daerah.
Investor di daerah yang mengambil usahanya kemudian bisa menjadi franchisee yang terjun lengsung mengelola usahanya. Jika sudah sukses di kemudian hari, franchisee menangani multi franchisee dan kemudian naik kelas menjadi franchisor. Begitulah seharusnya franchise, model bisnis kerakyatan yang bisa digeluti oleh semua kalangan, khususnya dari rakyat bawah.