

Saat ini kita sudah memasuki jaman teknologi digital yang begitu pesat. Dan ini sudah memasuki seluruh aspek kehidupan. Oleh sebab itu, sudah seharusnya para pengusaha franchise adaptif terhadap perkembangan ini, baik dalam aspek system pengelolaan bisnis maupun aspek marketingnya.
Alvin Toffler, sejak puluhan tahun lalu dalam bukunya The Adaptive Corporation sudah mengingatkan kepada para pelaku bisnis untuk berlaku fleksibel dan adaptif dalam mengelola perusahaan. Ia menyarankan agar manajemen perusahaan menerapkan teknologi terkini, menyingkirkan kebiasaan lama yang membuat perusahaan terus berada dalam zona nyaman.
Terlebih lagi di jaman milenial saat ini, masa yang disebut sebagai masa tak menentu. Philip Kotler menyebutnya sebagai era turbulansi atau pasar yang chaotics, pasar yang penuh kekacauan di mana setiap negara bisa dengan cepat mengalami resesi. Jika tidak cepat melakukan adaptasi, perusahaan bisa cepat tersingkir dari persaingan.
Di Indonesia pun demikian. Kondisi pasar saat ini tidak stabil. Sejak pandemi mewabah sampai saat ini belum ada tanda-tanda pergerakan ekonomi yang signifikan. Indonesia malah disibukan dengan urusan politik dan konflik yang tidak perlu di tengah kondisi yang masih memprihatinkan.
Biarlah urusan politik diurus oleh para pilitikus. Karena dunia bisnis memerlukan owner yang memiliki energi tinggi untuk bisa bersinergi dengan siapapun. Sebab tantangan perusahaan saat ini bukan oleh pesaing saja, tapi teknologi dan perangkat aplikasi yang merubah struktur bisnis.
Maka perusahaan dituntut untuk lebih adaptif, serta membuka wawasan untuk menerima hal-hal baru. Perusahaan tidak cukup memanfaatkan salah satu content terkonologi saja, tapi juga harus melakukan kreativitas untuk mengoptimalkan context.
Misalkan, kampanya branding di digital jangan hanya mengenalkan produk dan harga terbaru saja. Tapi juga menciptakan context dengan menawarkan kreasi baru dengan membuat berbagai program promo kreatif, mensinergikan produknya dengan perusahaan lain, dan kegiatan yang atraktif lainnya. Sehingga konsumen antusias dan mau datang.
Dengan kata lain, jika menggunakan istilah Jahja B Soenarjo, Konsultan dari Dirextion Strategy, perusahaan harus mampu mendramatisir produk, jasa dan program promonya sehingga memicu kerumunan konsumen.
Selain itu, perusahaan juga jangan hanya mengandalkan digital dan online saja untuk mengkampanyekan produk dan jasanya. Sebab beberapa pelaku franchise justru mendapat banyak investor dari luar daerah melalui saluran media offline. Menjual produk memang berbeda dengan menjual franchise.
Ketika membeli produk, calon konsumen yang tertarik biasanya cukup lewat komentar netizen. Tapi berbeda ketika membeli franchise yang melibatkan uang puluhan juta bahkan miliaran rupiah, orang butuh informasi offline yang mendalam dan detail. Apalagi orang kaya Indonesia kebanyakan masih diisi oleh segmen baby boomer yang tidak begitu gandrung dengan media online.
Jadi yang namanya adaptif adalah mereka yang pandai beradaptasi dengan berbagai media apapun. Manfaatkanlah berbagai saluran komunikasi marketing baik lewat online maupun offline. Sebab bagaimanpun Indonesia merupakan wilayah yang luas. Berbeda dengan Singapura yang pasar dan investornya terbatas.
Rofian Akbar
Pemimpin Umum Majalah Franchise Indonesia