Dalam Ritel, Konsumen adalah ”Sang Regulator”

Ritel adalah bisnis yang sangat kuat diregulasi oleh konsumen. Konsumenlah yang menentukan format toko, standar service dan product mix, dan mau tidak mau manufaktur dan peritel harus mengikuti permintaan dan perubahan yang terjadi pada diri konsumen.

Secara historis kekuatan ritel dulunya di tangan manufaktur, mereka menciptakan produk dan merek yang baik dan mendapat loyalitas tinggi di kehidupan konsumen. Ketika berbelanja yang diingat konsumen adalah merek produknya, mereka tidak peduli dengan tokonya. Peritel pada umumnya hanya sekedar bagian dari rantai distribusi saja. 

Kemudian masuk kepada era kekuatan peritel, dimana peritel merupakan rantai, meningkatkan daya beli (purchase power) dalam negosiasi, dan peritel juga menjual kemudahan, penseleksian product mix yang baik, menciptakan image murah, dan memberikan solusi bagi konsumen.

Mulai saat ini dan kedepan, ritel akan masuk kedalam era kekuatan konsumen (consumer power era), dimana konsumen yang akan memerintah industri dalam hal harga, penawaran  dan layanan. Mereka akan menciptakan demand yang sangat personal, tidak hanya produk masal; dan mau tidak mau manufaktur juga harus memenuhi kebutuhan ini.

Ritel menjual ”Experience”

Belanja saat ini bukan hanya membeli produk di toko, mereka membeli emosi. Konsumen modern membenci rutinitas, mereka sehari-hari sudah disuguhi kesibukan pekerjaannya maupun role-nya di keluarga. Mereka membutuhkan pemenuhan emosi (emitional need satisfaction) dan mereka bersedia bayar hal tersebut. Maksud saya, mereka bisa mendapatkan produk dimana saja, tapi yang bisa memberikan pemenuhan emosi adalah yang akan mereka kunjungi lebih sering dan loyal.

Kebutuhan emosi apa? Semacam rekreasi individu maupun keluarga seperti, pembangunan rasa dihargai, cantik penampilan, aktualisasi diri, belanja sambil belajar, makan bersama, ceria bersama di dalam toko dsb-nya. Contohnya American Dream Girls di Amerika, menjual boneka, tidak hanya boneka dipajang di etalase, akan tetapi menjadi tempat impian bagi anak perempuan di Amerika. Di sana di buat drama boneka, anak-anak dapat menginap dan bercengkerama dengan anak lainnya, makan bersama dll.

Yang harus di perhatikan oleh para peritel adalah pemenuhan kebutuhan semua indera: penglihatan, penciuman, pendengaran, penciuman, dan perasa. Kita sudah menyaksikan peritel yang sedang hot adalah mereka yang bisa memenuhi kebutuhan ini. Breadtalk dan J CO Donuts menyajikan harum yang sengaja ditebar, roti yang menawan di mata, dapur yang dibuat sebagai pentas atraksi, suasana belanja yang mendorong untuk memborong dan rasa roti/produk yang beda.  

Restoran kini menjebol tembok dan menggantikan dengan kaca tembus untuk bisa menyaksikan juga pentas atraksi si koki di dapur. Jadi experience lah yang Anda jual dan membuat peritel unik di mata dan benak konsumen, bukan hanya produknya. Produk dapat ditiru dengan cepat, tapi untuk meniru experience tidak semudah yang di perkirakan. Untuk saat ini kita berada di ekonomi experience, yang diperjual belikan adalah experience.

Think out of the box and yet relevan

Peluang ritel selalu terbuka jika peritel mulai berlaku sebagai ”marketer” (pemasar). Sebab itu saatnya mereka perlu juga skill marketing. Peritel harus mempunyai DNA, dan harus relevan terhadap konsumennya.  

Peritel harus rajin wawancara dengan konsumen, turun ke lapangan, minta feedback, explore kebutuhan, update konsep dll. Apalagi sekarang ini  teknologi, makna belanja, dan hati/pikiran konsumen berubah dengan cepat tanpa sepengetahuan peritel.

Ritel merupakan pendorong peningkatan ekonomi Indonesia meskipun Indonesia masih didominasi oleh peritel tradisional, yang sebenarnya belum efisien. Ini tugas pemerintah untuk bisa mendorong efisiensi untuk peritel tradisional (distribution central, procurement power) dan bukan proteksi, sebab proteksi tidak membantu dan menjamin peritel menjadi maju. 

Sistim yang memberikan suasana “fair play” lah yang harus diciptakan agar tradisional dapat maju dan modern juga tetap berkembang. Kalau sudah begitu semua berpulang kembali di tangan konsumen. Konsumen sebenarnya memegang tombol kematian untuk peritel, bukan pesaing maupun pemerintah. Konsumenlah yang mempunyai uang, darah kehidupan peritel.  

Yongky Suryo Susilo