Adi Jetendra Kebab Turkiyem, Memulai Usaha Kebab dari Rumah Kontrakan, Kini Miliki Hampir 200 Cabang

Dengan modal Rp 4,8 juta pria ini memulai bisnis kebab di depan rumahnya. Bisnisnya pun berkembang hingga memiliki hampir 200 cabang tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan NTT. Bagaimana kisahnya?

Dunia usaha bukan hal yang asing bagi Adi Jetendra. Berbagai usaha kuliner pernah dicicipinya sejak lama, mulai dari jualan kuliner kekinian seperti JASUKE, Keripik, SHUSI, hingga jualan pecel lele, susu, aneka minuman, dan ayam goreng gerobakan sudah dilakoninya. Usaha tersebut ada yang bertahan beberapa tahun, ada pula yang jalan di tempat alias tidak menghasilkan keuntungan.

Kegagalan menekuni berbagai macam usaha membuat mental bisnisnya kian kuat. Kegagalan dalam bisnis sudah menjadi hukum alam yang lumrah dilakoninya. Hal itu menjadi ajang untuk belajar pentingnya membangun brand. “Gagalnya karena saya terlalu ikut tren tanpa fondasi yang kuat. Dari situ saya belajar untuk fokus dan membangun brand jangka panjang,” kenangnya.

Sampai pada tahun 2020 di tengah situasi pandemi, Adi mencoba mencicipi lagi usaha baruya. Kali ini kebab. Dengan nama Kebab Turkiyem ia memulai usaha kebabnya di depan kotrakan rumahnya dengan modal Rp 4,8 juta.

Meskipun punya banyak pengalaman menjalankan berbagai macam usaha, namun usaha kebab adalah hal yang baru baginya. Adi pun tertantang mendirikan kebab karena ingin menyajikan sesuatu yang baru. “Awalnya saya hanya coba-coba jualan kebab dengan cita rasa khas rempah Indonesia. Idenya muncul karena saya lihat banyak kebab yang beredar itu rasanya standar, cuma dikasih saus dan mayonais saja,” ceritanya.

“Sedangkan saya punya produk keripik dengan bumbu rempah. Nah keripik saya ini, bumbunya saya campur ke kebab. Awalnya cuma saya tabur aja, lama kelamaan saya dapat ide memasaknya dengan kobis dan ayam cincang, ternyata rempahnya menggoda dan enak sekali. Rasanya beda dengan kebab lainnya,” jelasnya.

Sebagai langkah awal, Adi melakukan analisa bisnis dengan menghitung biaya produk per porsi, target penjualan per hari, dan margin keuntungan. “Saya buat proyeksi sederhana: kalau jual 50 porsi per hari, kira-kira bisa balik modal dalam 2–3 bulan. Tapi Namanya proyeksi kadang-kadang meleset. Omzet saya besar, tapi gak ada untungnya, karena saya lupa ada biaya-biaya lainnya yang belum saya hitung. Tapi semua jadi pelajaran,” tuturnya.

Disamping itu, Adi juga melakukan riset kecil-kecilan dengan mendatangi beberapa outlet kebab yang sudah lama eksis. “Saya cek harganya, cara dia membuat produk, saya cicip rasanya. Lalu saya bandingkan lagi dengan outlet kebab lainnya, saya cek harga franchisenya juga. Saya catat harga bahan baku, survei pasar, dan bikin beberapa kali eksperimen resep,” jelasnya. 

“Saya juga belajar dari berbagai sumber seperti YouTube, ikut pelatihan UMKM, bertanya ke pelaku usaha yang lebih duluan meski hasil yang didapat tidak sesuai dengan bisnis kita. Setidaknya ada insight, dan yang paling penting langsung praktek. Dari trial and error itu saya makin paham ritme usaha makanan jenis kebab,” ungkapnya.

Dengan persiapan tersebut, Adi mengembangkan bisnisnya dari satu gerobak hingga tumbuh memiliki hampir 200 cabang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. “Saat ini kami sedang mengembangkan sistem pusat pelatihan dan ekspansi Stasiun dan Flagship Per Kabupaten,” terangnya.

Kini Kebab Turkiyem memiliki 195 cabang tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan NTT. “Sekitar 170an di antaranya aktif dan produktif, sisanya sedang dalam jalan di tempat karena mitra bisnisnya tidak fokus mengelola usahanya,” bebernya.

Rata-rata omzet mitra bisnis tertinggi saat ini Rp 140 juta per outlet setiap bulannya, dan yang paling rendah sekitar Rp 18 juta perbulan. 

Ketika ditanya memilih menekuni bisnis kebab, Adi punya alasan dan pandangan bisnis tersendiri. Menurutnya kebab adalah peluang bisnis yang tidak ada matinya asal dikelola dan dikembangkan lebih baik. “Apalagi menu kita lengkap, ada ayam goreng, sampai ke eskrimnya sebagai pendampingnya, maka saya merasa tidak ada alasan untuk tidak diterima pasar,” tandasnya yakin.

Untuk mempercepat pertumbuhan bisnisnya, Adi menawarkan skema bisnis franchise sebagai jalur ekspansinya. “Maka saya juga belajar konsep franchise di Google, membuat MoU dari Google. Jadi benar-benar ototidak tidak ada ada guru franchise, karena memang saya ingin bisnis ini bisa berkembang lewat mitra bisnis,” katanya.

“Meskipun banyak orang bilang jangan di franchise bang Adi, sayang sekali usaha ini sudah berjalan bagus. Tapi mereka kan tidak tahu, kalau kita butuh uang cepat, nah salah satu biar dapat uang cepat ya franchise, kalau mau cabang banyak segera ya franchise,” sambungnya.

Kebab Turkiyem menawarka tiga paket franchise. Pertama, Paket Container Reguler Rp 34,5 juta dengan BEP sekitar 6 bulan. Kedua, Paket Kios Rp 69,5 juta dengan masa BEP 6-10  bulan. Ketiga, Paket Resto Rp165 juta dengan masa BEP 12-18 bulan. “Rata-rata mitra kami bisa balik modal dalam waktu singkat karena 3 bulan pertama ada momen opening di mana pengunjung cukup banyak yang datang ke outlet baru kami,” jelasnya.

Beberapa produk yang ditawarkan Kebab Turkiyem antara lain Kebab Turkiyem Rempah sebagai produk andalan, ada pula Fried chicken, Ice cream, Hotdog, Burger, dan Steak and Shake. “Harga kebab mitra kami berkisar Rp10.000–15.000 per porsi. Unggulannya adalah rasa khas Rempah Indonesia dengan branding yang kuat nama yang unik dan support bahan baku lengkap dari pusat,” terangnya sambil promosi.

Rencana mendatang Adi mentargetkan membuka Resto Flagship di setiap kabupaten & pusat pelatihan di Jogjakarta. “Dengan begitu kami bisa menambah 300 cabang dalam waktu kurun 2 tahun,” tandasnya.

Diakui Adi, tidak selamanya bisnisnya berjalan mulus. Terlebih di awal-awal memulai bisnis. “Kendala di awal kadang bahan habis, sewa kios di beberapa cabang tiba-tiba naik, belum lagi ada karyawan yang keluar masuk, produk basi, atau penjualan sepi karena pernah pelanggan kecewa lantaran produknya basi,” bebernya.

“Tapi dari situ saya belajar untuk cepat adaptasi dan memperbaiki sistem. Dan saya paling banyak masalahnya ada pada mitra setelah membuat franchise. Namun itu semua perlahan lahan dapat diatasi,” tambahnya. 

Selain itu, di awal bisnis Adi juga pernah kesulitan mencari bahan kulit kebab di toko frozen. Meskipun kulit kebab ada dimana-mana namun mencari yang sesuai kebutuhan dan standar kualitas Kebab Turkiyem cukup sulit.

“Semakin hari saya cicipi kulit kebab di luar sana kurang enak. Lalu saya produksi kulit sendiri, belajar improvisasi, bahkan pernah juga saya ngundang chef bayar Rp 10 juta untuk ngajarin bikin kulit kebab. Alhasil memang semua harus bisa improv sendiri. Rempah saya racik sendiri di rumah,” jelas Adi.

Kendala awal paling besar menurutnya adalah keterbatasan modal dan belum punya tim. Semua dikerjakan sendiri, dari produksi sampai jualan. “Tapi justru itu yang membuat saya mengerti semua prosesnya, serta kendala tidak ada agen di suatu wilayah, akhirnya susah disstribusi ke mitra,” bebernya.

“Untuk modal terbatas saya siasati dengan efisiensi, saya jual franchise biar dapat modal lebih, intinya jangan sampai berhutang ke bank. Produksi saya buat di rumah, dan bahan saya beli partai kecil dulu. Untuk tenaga kerja, saya rekrut satu orang dulu dari lingkungan terdekat, lalu pelan-pelan tambah seiring berkembangnya usaha,” jelasnya.

Untuk memasarkan produknya, Adi melakukan pemasaran lewat media sosial dan dari mulut ke mulut. “Saya fokus di media sosial. Saya rajin iklan dengan Foodgram, karena dengan Foodgram produk kita lebih cepat dikenal, dan diads. Saya buat konten yang menarik, dan tampil beda. Selain itu saya ajak mitra untuk gabung, jadi bisa berkembang lewat sistem kemitraan. Saya juga sering ikut bazar di kampus brand dan produk agar lebih dikenal luas,” ungkapya.

“Kini penjualan dan pemasaran kami fokus ke konten visual di Instagram, TikTok, dan WhatsApp marketing dan META ADS. Sistem produksi kami pusatkan di dapur utama, lalu distribusi ke seluruh mitra. Produk kami sifatnya kering-kering dan bubuk dikemas agar awet, penyimpanan pakai freezer khusus dengan manajemen FIFO (first in first out),” tambahya.

Di tengah perjalanan usaha kebabnya, ia pernah mencoba jualan Steak, namun ternyata kurang laku. “Saya juga pernah kerjasama dengan partner yang akhirnya gagal karena beda visi. Biasalah kalau untung saya dipuji, saat usahanya sepi, minta balikan modal. Tapi dari kegagalan itu saya dapat pelajaran penting soal konsistensi dan branding. Serta akad-akad dalam bekerjasama,” bebernya.

Faktor penghambat dalam memulai bisnis yang paling sering adalah mental—rasa ragu, takut gagal, dan komentar negatif dari orang. Namun Adi percaya kalau yakin dan serius, hasilnya akan mengikuti.

Hambatan ketika proses mengembangkan bisnis ialah menjaga kualitas di semua cabang. Apalagi setelah banyak mitra, kata dia, harus jaga agar rasa dan pelayanan tetap standar. “Maka saya bikin SOP dan kadang-kadang ada mitra ngurangi takaran, manggang tidak mateng, macam macam kendalanya,” bebernya.

“Namanya juga kita kasih bisnis ke orang baru kita kenal, dan orang itu pun juga tidak punya basic bisnis, kita harus siap siap pasang badan dan siap-siap hancur brand kita. Karena pernah, Turkiyem itu dibuatnya pakek grobak kayu, bayangkan coba. Diam diam dia buat begitu,” sambungnya.

Meskipun demikian, Adi merasa bersyukur karena mendapat dukungan besar berupa semangat dari keluarga, dukungan team, dan respon positif dari pelanggan. “Saya membangun relasi lewat komunitas wirausaha, bazar UMKM, media sosial, dan kolaborasi konten. Untuk administrasi, awalnya masih manual, tapi sekarang sudah rapi dengan sistem digital: pembukuan, stok bahan, pengiriman ke mitra, dan manajemen mitra semua tercatat,” terangya.

Suka duka dalam melakoni usaha kebabnya Adi dengan tegas mengaku bersuka ria apabila melihat mitra sukses dan bangga pakai brandnya. “Dukanya kalau ada mitra yang berhenti, atau saat penjualan turun drastis karena faktor luar,” kata pria yang hanya menggenggam ijazah SMA ini.

Di saat pelaku bisnis tiarap di masa pandemi, Kebab Turkiyem justru mengalami kinerja bisnis dengan banyaknya peminat yang ambil peluang bisnis franchise. “Ketika orang-orang bisnisnya pada tutup kami malah laris jual franchisenya,” terangya.

Kuncinya adaptasi saat pandemi, utamanya kata dia, pada penjualan digital dan pengemasan frozen. “Saya buat versi beku yang bisa dikirim antar kota. Saya juga aktif membuat konten edukatif agar mitra tetap semangat jualan dari rumah,” bebernya.

“Tantangan bisnis di masa pandemi juga ada pada distribusi bahan yang sempat tersendat, dan jam operasional mitra yang dibatasi. Solusinya saya buat agen mini di beberapa kota agar distribusi lebih cepat. Mitra juga diarahkan fokus jualan via online delivery,” tukasnya.

Saat itu, lanjutnya, kami yakinkan pelanggan dengan posting proses produksi yang higienis, kemasan vakum, dan layanan bebas kontak. “Penjualan lewat digital sangat aktif—terutama Instagram & WhatsApp. Strategi lainnya testimoni pelanggan, promo bundling, dan konten storytelling tentang mitra-mitra sukses,” jelasnya.

Pehobi olahraga dan jalan-jalan kulineran ini memberikan tips bagi calon pengusaha yang ingin terjun ke dunia usaha. “Mulai usaha dari skala kecil boleh, tapi berpikir besar. Jangan nunggu sempurna, karena bisnis itu soal jalan dan belajar,” pungkasnya mantap.