Tetap Optimis Di Masa Krisis

Tetap Optimis Di Masa Krisis

Beberapa status kawan-kawan di media sosial  mengabarkan kondisi sulit yang sedang dialami. Tautan informasi mengenai kondisi pereknomian Indonesia yang melemah bertebaran di media sosial. Tidak sedikit para pakar ekonomi yang menyebut Indonesia sudah memasuki masa krisis. Makro ekonomi Indonesia limbung. Kembali, ketahanan ekonomi Indonesia akan diuji. Otomatis bagi para pengusaha, situasi ini menjadi tantangan yang tidak bisa dibilang mudah.

Indonesia bukan sekali ini dihantam badai krisis ekonomi. Pelemahan nilai rupiah terhadap dolar pada tahun 1998 yang memicu krisis ekonomi masih belum lepas dari ingatan kita. Meski memang tidak mudah untuk dihadapi, dunia waralaba lokal justru mendapat angin segar. Merek-merek waralaba lokal bermunculan pasca krisis 1998. Industri waralaba lokal semakin bergairah akibat meredupnya merek waralaba internasional.

Dalam skala bisnis yang lebih besar, kita mendengar kisah Chairul Tanjung, bos CT Corp, yang justru bersinar pasca krisis 1998. Kemudian ada kisah bos jamu Sido Muncul, Irwan Hidayat, yang tetap meneruskan pembangunan pabriknya di Semarang di tengah masa krisis. Kepercayaan diri yang luar biasa, berpadu dengan sikap optimis menjalankan bisnis, membuat mereka termasuk pengusaha yang paling siap ‘menggeber mesin bisnisnya’ setelah masa krisis berakhir.

Atau kisah lain dari produsen keramik Arwana Citramulia. Pemiliknya yang bernama Tandean Rustandy tetap memegang teguh komitmen tetap berbisnis ketika masa krisis. Dalam kondisi yang sangat sulit, ia tetap bertahan dan memegang erat komitmennya untuk terus menjalankan bisnis keramiknya.

Seperti kata mutiara yang sering diucapkan, dibalik setiap peristiwa pasti ada hikmah. Peluang bagi bisnis waralaba untuk terus berkembang tidak sepenuhnya tertutup. Ketika resesi dan banyak terjadi PHK, ada kecenderungan orang  berinvestasi di bisnis waralaba. Apa sebab? Ketika terkena PHK maka orang punya pilihan untuk berwirausaha, salah satunya dengan membeli bisnis waralaba. Jadi waralaba bisa menjadi alternatif pilihan investasi di masa krisis ini.

Harus diingat, krisis 1998 membuktikan bahwa UKM Indonesia mampu bertahan. Di sisi lain, opportunity untuk melakukan ekspansi pasar juga masih terbuka lebar. Sekarang tinggal bagaimana kita  tetap semangat, bekerja keras,  terus bergerak dan senantiasa optimis dalam menghadapi krisis.

Lalu, bagaimana agar tetap optimis di masa krisis? Setidaknya ada empat langkah yang bisa dilakukan. Pertama, berlakukan money tight policy atau kebijakan memperketat anggaran. Kita harus mulai menyusun skala prioritas pengaturan cash flow. Misalnya, mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk menambah jumlah SDM. Seiring dengan itu, kita juga bisa mengoptimalkan SDM yang dimiliki. Misalnya untuk satu outlet, jika sebelumnya ada sekitar 6 orang, bisa dioptimalkan dengan mengurangi setengahnya. Sisanya bisa dimanfaatkan untuk outlet yang lain. Dalam hal ini, job mission para pekerja harus diperjelas.

Contoh lainnya, dengan mengurangi biaya yang dirasa tidak terlalu diperlukan. Pengusaha harus ketat menyusun dan menjalankan skala prioritas yang sudah dibuat. Cara lain, bisa dengan mengurangi porsi tanpa perlu menaikkan harga produk. Tentunya, pengurangan porsi dilakuka tidak secara signifikan. Tetap mengutamakan kepuasan konsumen sambil tidak melupakan profit yang sudah ditargetkan.

Kedua, kreativitas marketing dan public relation. Prinsip low cost, high impact harus tetap dilakukan. Kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan ini. Fenomena ojeg online di kota besar Indonesia membuktikan bahwa teknologi semakin akrab dengan masyarakat. Program iklan yang dijalankan harus dipastikan mampu menjangkau end user. Atau bisa dengan membuat promo menarik yang bisa mengundang konsumen tertarik datang ke outlet. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, meski dalam masa pengetatan, branding tetap perlu dilakukan agar tidak kehilangan opportunity.

Para ujung tombak di lapangan harus lebih aktif dan agresif menawarkan produk kepada konsumen. Misalnya untuk restoran, jika melihat hidangan yang dipesan sudah habis dikonsumsi oleh konsumen, pelayan yang bertugas secara aktif menawarkan tambahan pesanan. Setidaknya, kita membuka peluang untuk konsumen melakukan tambahan order.

Ketiga, membangun SDM agar tetap optimis. Sebagai leader, kita harus tetap menyampaikan energi positif. Bukan malah menambah kepanikan. Kondisi krisis memang tidak mudah dirasakan bagi siapapun. Ini bukan berarti mengesampingkan kondisi yang terjadi. Sikap optimis dimulai dari mind set internal. Penularan sikap optimis dimulai dari atas ke bawah. Artinya, jajaran top management harus bisa menjaga stabilitas internalnya agar tetap kondusif dan memiliki optimisme dalam menghadapi krisis.

Terakhir, perkuat aspek spiritual agar tetap memiliki pegangan yang kuat dalam mengarungi badai krisis yang terjadi. Situasi krisis sangat menguras energi dan pikiran. Tidak bisa tidak, keyakinan akan adanya kekuatan lain yang sangat besar di luar diri kita bisa membuat kita tetap nyaman dan tenang. Agar tidak galau menghadapi krisis yang terjadi, kita orang Indonesia sudah biasa merasakan krisis dan ini bukan baru kali ini saja terjadi. Dan pada akhirnya, krisis dapat berbuah manis bagi mereka yang tetap optimis. Seperti lagu Chrisye, Badai Pasti Berlalu. Nanti ketika badai berakhir, hangatnya sinar matahari pasti akan muncul. Lembutnya warna-warni pelangi menambah keindahan hari setelah badai.

Pertanyaannya, apakah kita termasuk pengusaha yang siap menyambut pelangi?

Rofian Akbar
Pemimpin Umum Majalah Franchise Indonesia