

Franchisor yang bisa memberikan kepuasan kepada franchiseenya akan mendapat benefit lebih banyak. Bisnis pun lebih langgeng.
Tidak jarang kita mendengar sebuah kisah sesorang konsumen yang menggambarkan kepuasannya terhadap sebuah produk atau jasa kepada konsumen lain. Tanpa disengaja, sebenarnya sang konsumen ini telah melakukan kegiatan public relation sebuah merek atau produk ke konsumen lain. Tanpa dikomando, tanpa dibayar dan tanpa mendapatkan benefit apa-apa dari perusahaan yang mengeluarkan produk atau jasa tersebut.
Apresiasi yang begitu tinggi hingga konsumennya menjadi agen penutur kepada konsumen lain tidak lain karena apa yang didapat konsumen dari sebuah produk (merek) melebihi ekspektasinya. Konsumen seolah-olah tidak menyangka bisa mendapat benefit lebih besar dari apa yang diperkirakannya.
Bisa dipastikan, sebuah merek atau produk yang mampu memberikan kepuasan kepada pelanggannya akan bertahan lebih lama. Bahkan, setiap hari bisa mendapatkan konsumen-konsumen baru, karena kisah pengalaman konsumen terhadap sebuah produk atau merek mudah untuk dipercaya oleh calon konsumen.
Di bisnis franchise pun bisa terjadi seperti itu. Franchisee sebagai konsumen awal, dapat menjadi pemicu bagi calon-calon franchisee lain. Apalagi, franchisee menjadi salah satu ukuran yang harus dipertimbangkan oleh calon franchisee sebelum membeli hak waralaba.
Kalau franchisee bisa puas dengan bisnisnya, apalagi sampai menceritakan kepada kolega-koleganya, maka rangsangan terhadap sebuah bisnis dari orang yang pernah mendengarnya akan sangat kuat.
Menurut Burang Riyadi, pengamat franchise dari IFBM, kalau franchisee puas akan ada sebuah ekspresi dari rasa kepuasan itu. Salah satu ekspresinya adalah dengan membuka lagi gerai franchisenya atau menceritakan suksesnya kepada orang lain. Tentu saja, kata Burang, hal ini akan memotivasi calon-calon pembeli hak waralaba baru.
Seperti apa gambaran kepuasan di bisnis franchise? Kepuasan bagi seorang pelanggan, baik itu di bisnis B2B (business to business) maupun B2C (business to customer) merupakan situasi dimana pelanggan merasakan telah memperoleh lebih dari yang dijanjikannya. Artinya, benefit yang didapatkannya melebihi dari ekspektasi sebelumnya. Dengan kata lain, realiasai yang diberikan oleh franchisor lebih tinggi dari yang pernah dijanjikannya.
Baca Juga: Membangun Franchisor-Franchisee Satisfaction
Mengingat bisnis franchise merupakan kemitraan antara franchisor dan franchisee, maka kepuasan tidak hanya menjadi tanggung jawab yang harus direalisasikan franchisor kepada franchiseenya. Sebaliknya, franchisee juga punya tanggung jawab untuk bisa memuaskan franchisornya.
Menurut Burang Riyadi, faktor kepuasan di dalam bisnis franchise harus dimulai dari kesadaran franchisor-franchisee sebagai sebuah tim yang saling melengkapi. Seorang franchisee harus menyadari kesuksesannya karena ada franchisornya. Sebaliknya juga begitu.
Karena, kalau masing-masing sudah meraih kepuasan, kata Burang, langkah bisnis yang dijalani akan semakin cepat, bahkan melambung, yang bisa memungkinkan banyak orang melihat dan termotivasi. “Banyak aspek yang akan menerima benefit, tidak hanya sisi keuangan franchisor dan franchisee. Tetapi juga bagi karyawan yang bekerja dan parasupplier yang menjadi rekanan kerja,” kata Burang.
Sayangnya, faktor untuk saling memuaskan ini memiliki kendala yang tidak ringan. Meskipun pada tataran ideal, baik franchisor maupun franchisee mendambakan kerja sama yang saling memuaskan. Kendala utamanya, menurut Burang, umumnya terletak pada keseimbangan yang timpang antara dua belah pihak (franchisor-franchisee). Misalnya, franchisor lebih serakah, sementara franchisee sok pintar. Kemudian, level of service franchisor rendah, sedangkan franchisee terlalu agresif. Atau franchisornya kurang modal, namun franchiseenya ditambah terus.
Nah, titik krusialnya, kata Burang, sebenarnya berada pada komunikasi. Jika sampai terputus komunikasi, hal itu menjadi indikator bahwa franchisor dan franchisee sudah saling tidak peduli. “Situasi seperti ini akan cepat menular pada sistem dan franchisee lain. Jika hal ini terjadi, objek utamanya adalah penyelesaian secepat mungkin, baik itu toleransi maupun pemutuksan hubungan,” katanya.
Karena itu, untuk menciptakan rasa puas, lanjut Burang, masing-masing pihak harus bisa kooperatif. Dua belah pihak harus selalu bekerja sama dengan semangat tinggi dan selalu berpikir positif.
Sementara itu, Affandy Abd Raof Faiz, pengamat franchise Malaysia dari Francorp mengemukakan, kepuasan di bisnis franchise, terutama bagi franchisee, diukur dari sistem dukungan yang solid, terus menerus yang diberikan franchisor kepada franchiseenya. Dengan kata lain, franchisor mesti menyediakan perangkat dan memberikan layanan kepada franchisee secara jujur, tepat waktu dan profesional. “Franchisor juga harus punya timbang rasa dalam menengani segala masalah dan isu-isu diselesaikan dengan komunikasi yang baik dan menguntungkan kedua belah pihak,” katanya.
Sedangkan bagi franchisor kepuasan diperoleh dari kemauan franchisee untuk taat mematuhi segala garis panduan dan prosedur tata kerja yang telah ditetapkan.Menurut Affandy, franchisee merupakan mata dan telinga pemasaran bagi franchisor. Karena itu, ungkapnya, franchisee harus turut menyumbang ide-ide baru dalam menelorkan produk atau service yang bisa membawa manfaat bagi keseluruhan sistme bisnis yang dijalaninya itu.
Mau tidak mau, upaya untuk saling memuaskan antara franchisor dan franchisee ini harus bisa diwujudkan. Karena jika bisa saling memuaskan, spirit untuk membangun bisnis itu akan semakin tinggi. Sehingga kepuasan itu akan berujung pada peningkatan kinerja keuangan usaha. Selain itu, kata Affandy, pertalian hubungan perniagaan ke dua belah pihak turut terbina dengan baik.
Affandy mencontohkan, Mc Donalds, merupakan salah satu bisnis franchise yang berhasil membina hubungan saling memuaskan antara franchisor dan franchiseenya. Bisnis ini pun kemudian berkembang sangat pesat dan franchiseenya mampu bertahan hingga generasi ketiga.
Jahja B. Soenarjo juga setali tiga uang. Menurutnya, banyak franchisee yang kecewa kepada franchisornya akhirnya nekad melanggar aturan atau menghentikan kerja sama. Faktornya, karena franchisor tidak berhasil memberika kepuasan kepada franchiseenya.
Ditandaskan, franchisor harus melihat franchisee sebagai bagian integral dari mata rantai bisnis. Franchisee adalah internal customer sekaligus service provider bagi para end user yang harus menjamin bahwa pelanggan akhir akan mendapatkan sesuai apa yang dijanjikan kepada mereka. “Bila janjinya tidak terpenuhi, maka pelanggan akan kecewa, outlet sepi dan bisnis franchise bisa gawat,” kata Jahja.
Dengan demikian, kepuasan bagi franchisee dan franchisor bisa berimplikasi kepada layanan yang prima kepada end user. Jika hal ini di-deliver secara baik, bisnis pun, kata Jahja, akan lebih kekal.
Rofian Akbar