Dear All, Inilah Faktor yang Membuat Franchisee Kecewa

50%  faktor kegagalan pembeli hak waralaba disebabkan franchisor. Sedangkan faktor franchisee hanya 25% saja sebagai penyebab kegagalan. Sisanya, 25% lagi karena faktor eksternal

Bisnis franchise menjanjikan tingkat keberhasilan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bisnis biasa. Konon, tingkat kegagalan pemberi hak waralaba hanya 5-15%. Sedangkan pada bisnis biasa, tingkat kegagalannya bisa berada di angka lebih dari 65%.

Inilah daya tarik peminat bisnis membeli hak waralaba. Sedangkan menurut pengamat franchise, Utomo Njoto, kegagalan sebuah bisnis franchise bagi pembeli hak waralaba karena faktor franchisor mencapai 50%. Di sini, franchisor cukup tinggi menjadi penyebab kegagalan bisnis franchisee.

Franchisor sebagai penyebab kegagalan terjadi dari berbagai hal. Pertama, bila kualitas produk tidak terjaga. Kedua, layanan tidak maksimal dan terus menerus mengalami penurunan. Ketiga, tim manajemen yang lemah. Keenam, tidak mampu memberikan support yang memadai kepada jaringan franchise-nya. Ketujuh, tidak mampu bersaing dan mengelola merek dengan baik. Kedelapan, tidak mampu melakukan inovasi terhadap produk dan model bisnisnya bila situasi eksternal menuntut hal tersebut.

Kesalahan yang lebih fatal, menurut Utomo adalah karena model bisnis franchisor yang tidak sustainable. Misalnya, salah menghitung margin dan biaya-biaya. Kedua, serakah dalam arti memungut biaya-biaya waralaba yang berlebihan sehingga bisnis tersebut tidak bisa hidup di level gerai single unit franchise.

Sedangkan kegagalan karena disebabkan faktor franchisee menurut Utomo Njoto hanya setengahnya atau 25% saja. Kegagalan karena faktor franchisee ini umumnya disebabkan, pertama, ketidaktaatan franchisee pada sistem yang sudah dibangun oleh franchisor. Kedua,  ketidaktekunan. Dan ketiga, kegagalan mengelola karyawan.

Sedangkan 25% yang tersisa, kegagalan itu disebabkan faktor eksternal. Misalnya, karena kondisi makro ekonomi yang tidak menguntungkan untuk bisnis seperti resesi dan krisis yang mempengaruhi buying power masyarakat. Selain itu, itu faktor perubahan tren juga bisa menjadi sebab kegagalan jika tidak ada antisipasi melalui berbagai inovasi. 

Sebab franchisee kecewa

Kekecewaan franchisee selalu dialamatkan kepada franchisor. Berikut ini, Utomo Njoto memberikan diagnosa penyebab franchisee kecewa terhadap franchisornya:

Pertama, sales tidak mencapai target. Umumnya, jika sales tidak mencapai target franchisee selalu melemparkan kesalahan kepada franchisor yang kurang promosi, kurang support untuk meningkatkan sales. Meskipun untuk kasus ini, bisa saja faktor lain yang menjadi penyebab. Misalnya, komunikasi franchisee dengan pegawai kurang baik, atau memang kualitas SDM yang kurang baik dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan

Kedua, margin Keuntungan tidak sesuai dengan proyeksi yang disampaikan oleh franchisor. Dalam kasus ini, sales bisa mencapai target, tetapi margin keuntungan tidak sesuai dengan proyeksi franchisor. Bisa saja faktor ini disebabkan promosi diskon yang menggerus margin keuntungan secara berlebihan. Tetapi, bisa juga karena krisis atau resesi yang memaksa franchisor memilih mengurangi gross profit daripada menaikkan harga. Biasanya hal ini  karena pertimbangan buying power masyarakat yang menurun.

Ketiga,  perijinan menghadapi kendala birokrasi di lapangan. Dalam kasus ini franchisee misalnya terus mengeluarkan biaya sewa tempat, sedangkan launching bisnis terus tertunda. Faktor ini sebenarnya berada di luar kendali franchisor.

Keempat, terjadi penurunan kualitas dari produk yang diharuskan beli franchisor.  Tentu saja, hal ini bisa mereduksi pelanggan yang datang ke outlet dan memunculkan complain dari konsumen. Pada akhirnya, pendapatan outlet akan berkurang. Hal seperti ini harus dihindari oleh franchisor.


Kelima, supply dari franchisor jauh lebih mahal daripada harga pasar. Franchisee tentu saja tidak bisa menjual produknya secara cepat ke konsumen. Kalaupu  itu dilakukan, kerugian bisa ditanggung franchisee. 

Keenam, kualitas sumberdaya manusia yang disediakan oleh franchisor kurang baik
Bila faktor kualitas kandidat, hal ini merupakan faktor yang di luar kendali Franchisor; tapi bila karena kelemahan sistem pelatihannya maka Franchisor yang bertanggung jawab.

Ketujuh, biaya investasi yang terlalu mahal. Franchisee tidak akan meraih untuk jika biaya investasi dan biaya-biaya lainnya terlalu tinggi sehingga target penjualan untuk jangka waktu balik modal yang baik sulit dicapai.

Cegah kekecewaan franchisee

Jika kasusnya adalah performa franchisee yang tidak baik, franchisor harus berinisiatif untuk mencari investor baru atau melakuan ambil alih (take over). Namun memang bukan pekerjaan sederhana jika bisnis itu merugi. Beberapa kasus, franchisor justru memuat item perjanjian take over atau ambil alih. Karena, umumnya, franchisor yang bisa mengidentifikasi kegagalan, bisa membuat bsinis itu berhasil di tangannya atau di tangan operator lain. Bisa saja, karena faktor tempat, sehingga ketika dipindahkan bisa berhasil.

Menurut Utomo, franchisor juga jangan sampai memungut biaya investasi dan biaya-biaya waralaba lainnya yang terlalu tinggi sehingga target penjualan untuk jangka waktu balik modal yang baik sulit dicapai.

Anang Sukandar juga mengaskan, sudah semestinya franchisor mencegah franchiseenya dari kekecewaan. Menurutnya, franchisee berbisnis untuk mencari untung adalah alasan yang sangat wajar dan rasional.

Franchisee ketika berinvestasi sudah memperhitungkan resiko. Sehingga, hubungan franchisor-franchisee harus dijalin baik. “Hubungannya harus win-win, franchisor untung dan franchisee juga untung, jangan ingin untung sendiri saja,” kata Anang.

Anang mengaku, support seringkali menjadi senjata penembak kekecewaan franchisee. Tetapi dia mengingatkan, tidak semua bisa dibebankan kepada franchisor. Menurut Anang, dua belah pihak mestinya bijaksana dan objektif dalam melihat persoalan yang dihadapi.

Rofian Akbar