
Ina Cookies dikenal sebgaia penguasa di segmen pasar kue kering. Di tangan generasi kedua, perusahaan ini semakin berkembang hingga memiliki 200 cabang di berbagai daerah. Kedepannya generasi kedua ingin mewujudkan menjadi perusahaan multi nasional.
Berdiri sejak tahun 1992, Ina Cookies dirintis dari usaha rumahan oleh seorang ibu rumah tangga yang bernama Ina Wiyandini. Wanita yang akrab disapa Mama Ina ini mendapat resep kue kering Nastar dari kakak ipar perempuannya. Kesenangannya membuat kue kering mendapatkan momentumnya ketika perkebunan jahe gajah milik keluarganya panen raya di Aceh pada tahun 1988.
Karena khawatir banyaknya jahe yang membusuk maka dijadikanlah kue kering yaitu Nastar. Mama Ina kemudian menjualnya secara dor to dor, dari rumah ke rumah. Nastar buatannya mendapat sambutan yang baik dari para tetangga dan kenalannya. Ia pun semakin bersemangat membuat varian kue kering lainnya.
Namun demikian, sang suami harus pindah dinas ke daerah Bandung. Di kota kembang tersebut kesukaannya membuat kue kering terus dilakoninya. Untuk memulai usaha rumahannya Mama Ina memberanikan diri meminjam bahan baku ke toko bahan baku di daerah Bandung. Usaha kue kering tersebut ditawarkannya seperti kebiasaanya lewat dor to dor, kepada para kenalannya di daerah Bandung.
Usahanya tersebut kian hari kian mendapat respon yang baik. Banyak kolega suami dan rekan kenalannya yang mau membantu jualan kue keringnya. Mereka yang membantu penjualan diberikan komisi 5-7 ribu rupiah pertoplesnya.
Karena semakin berkembang pada tahun 1992, Mama Ina memberi nama produknya Ina Cookies. Di tahun inilah Ina Cookies mengalami boom dalam bisnisnya. Berbarengan dengan kelahiran anak keduanya, Paula Nurrahmahniar, Ina Cookies membukukan omzet tertingginya. Wanita kelahiran 1963 ini mampu membukukan penjualan 1 miliar dalam satu tahun.
“Waktu itu kan larisnya saat lebaran. Karena lebaran kan satu tahun sekali saja momentnya. Jadi kerja satu bulan tatapi bisa hidup untuk satu tahun. Tidak punya banyak karyawan waktu itu. Jadi dikerjakan bareng keluarga saja,” ujar Paula Nurrahmahniar, putri kedua sekaligus generasi penerus Ina Cookies.
Dari situ, kata Paula, Ina Cookies mulai aware terhadap strategi marketing. Ina Cookies mulai membuat logo. “Modelnya logo lengkungan kalau di Islam itu bulan dan bintang di Masjid. Jadi harapannya itu dari Indonesia ingin mendunia. Nama Ina juga sebuah doa artinya Indonesia Cookies. Produk kita juga mulai dikembangkan dengan main product yang menjadi best seller seperti Nastar, Kastengel, Putri Salju Sagu Keju. Ternyata disukai banyak orang dan rasanya coocok degan masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Di tahun 1992 pula Ina Cookies mulai mengembangkan pemasarannya lewat reseller dan keagenan. Awal mula yang menjadi reseller adalah keluarga besarnya. “Karena Mama Ina ingin keluarga besar juga bisa sukses sama-sama membesarkan Ina Cookies. Saya sendiri ketika ikut terlibat di Ina Cookies ditugaskan menjadi SPG kemudian naik ke sales marketing. Sampai kini menjadi Direktur Marketing. Sedangkan kakak saya ditugaskan di bagian manufacturing,” beber Paula.
Syarat menjadi reseller Ina Cookies cukup mudah. Syaratnya menurut Paula, hanya belanja produk saja senilai Rp 375 diksonnya langsung 10%. “Sedangkan kalau menjadi distributor minimum belanjanya di Rp 3,5 miliar. kita banyak jualan di reseller. Menjadi reseller Ina Cookies keuntungannya semuanya kita pinjamkan, banner, foto, tools-nya, pelatihan, tim sales, katalog, marketing promo dan sebagainya jadi sudah ready semua tinggal jualan saja,” ujarnya.
Selain itu, Ina Cookies juga mengambangkan sistem keagenan dengan syarat membeli produk dengan jumlah yang lebih besar dari resaller. Saat ini agen terbanyak Ina Cookies di Jabodetabek. Untuk agen komisinya 21 persen dari penjualan. “Misalnya seorang agen mampu menjual 100 juta maka keuntungannya 21 persen. Rata-rata omzetnya ratusan juta. Kalau menjual Rp 300 juta udah dapat 30 juta. Kalau menjual 600 juta bisa mendapat keuntungan bersih 60 juta, makanya setiap tahun kita kasih award untuk agen,” jelas Paula.
“Tahun ini, para agen kita kasih award ke Thailand dan Umroh. Untuk umroh minimum belanjad di 3,5 miliar. Kalau ke Thailand 1 miliar. Kemaren yang berangkat 38 orang. Itu jualannya di rumah, rata-rata ibu rumah tangga dan penjualan online. Ada yang punya channel sendiri. Kita juga ada pelatihan penjualan online namanya Sherina Community,” tuturnya.
“Di pameran franchise di BSD beberapa mimggu lalu kita juga menawarkan peluang menjadi reseller dan keagenan. Yang paling banyak kita kembangkan saat ini dari sejak dahulu kala resaller karena modal terjangkau dan cukup mudah,” terang Paula.
Dituturkan Paula, Ina Cookies terkenal sebagai hand made cookies. Sampai saat ini meskipun punya pabrik tapi masih menggunakan hand made karyawan. “Karena kata Mama Ina mesin itu tidak bisa berdoa tapi karyawan bisa mendoakan karena itu semua hand made. Mesin itu hanya untuk beberapa varian yang besarannya harus sama seperti kue lidah kucing dan sagu keju saja. Tapi nastar dan sebagainya pakai hand made karena tidak ada cetakan yang menyerupai bulat sabit,” ungkapnya.
Ina Cookies sudah memproduksi ratusan jenis kue kering. “Setiap tahunnya kita kurasi menjadi 36 varian yang paling best seller. Nastar, Kastengel, Putri Salju Sagu Keju, Kue Colat saat ini masih menjadi best seler. Kue kering Ina Cookies memiliki rasa yang konsisten dan bahan baku premium. Pabrik kita juga sudah berskala internasional jadi tidak semua orang bisa sembarangan masuk pabrik,” jelas Paula.
“Kalau masuk pabrik bisa discreening dahulu kesehatannya, bagian area dalam dan luar harus terjaga. Pakai perawatan tempur seperti masker, hijab, sarung tangan, dan sebagainya,” sambungnya.
Berapa harga produk Ina Cookies? “Harga produk di Jabotabek masih apordable, Ina Cookies Gold harganya Rp 125 ribu sudah ada all varian, ada juga JAR harganya Rp 75 ribu. Kita juga sudah masuk ke channel modern trade di mal-mal seperti AON, Hypermart. Jadi menjangkau semua jenis cookies mulai cookies healthy, cookies anak-anak, oleh-oleh, jadi semua cookies ada di Ina Cookies,” jawabnya.
Kunci sukses Mama Ina dalam memimpin bisnis dan mewariskan legacy yang sampai saat ini dipegang teguh generasi keduanya adalah menjalankan bisnis dengan prinsip rahmat. Sebagimana nama suaminya yang kebetulan bernama Rahmat. “Rahmat mampu menjadi perusahaan yang pengasih, R-nya juga bisa diartikan religius. Jadi karyawan di sini harus mengembangkan suasana religius pakai hijab untuk wanitnya, laki-lainya juga harus rapih dan sopan,” jelas Paula.
“Kemudian karyawan juga boleh suami istri dan anak bekerja sama-sama di Ina Cookies menjadi bagian keluarga Ina Cookies. Beliau juga meninggalkan legacy bahwa karyawan diberangkatkan umroh setiap tahunnya. Lalu ada CSR seeprti punya pondok tahfidz Qur’an, anak-anak karyawan juga disekolahkan. Itu semua legacy menjadi penunjang bisnis Ina Cookies juga,” jelas Ibu satu anak kelahiran 1992 ini.
Selain Ina Cookies, Mam Ina juga pernah membuka usaha Resto Puyunghai, Chinesse Food, Sunda Food, Air Isi Ulang, Material Bangunan. “Itu dicoba semua. Namun yang tersisa kini Restoran Makanan Sunda dan Bakso, dan itu besar sekali restorannya di daerah Bandung,” jelas Paula.
Menurutnya, kendala yang dialami Mama Ina sewaktu membangun usaha kue keringnya adalah membagi waktu antara usaha dan keluarga. “Karena Mama Ina gak mau anaknya dipegang oleh pengasuh. Ia asuh sendiri anak-anaknya sambil menekuni usaha. Sementara sang suami bekerja di sebuah perusahaan lain. Jadi di awal-awal memulai usaha laku satu toples sehari alhamdulillah saja karena masih nyambi urus anak,” kenang Paula menceritakan jerih payah sang Ibunda.
Kian Berkembang di Tangan Generasi Kedua
Ina Cookies kini sudah memasuki usia 34 tahun, dan dikelola generasi kedua. Sementara Mama Ina menjadi komisaris perusahaan. Generasi kedua mulai melanjutkan tongkat estapet perusahaan mulai tahun 2012. Dari satu toko di daerah Bandung, Ina Cookies saat ini sudah punya 200 toko tersebar di seluruh Indonesia dan memiliki channel penjualan yang tersebar di berbagai daerah, mayoritas cahnnel penjualan adalah reseller.
Ina Cookies mempekerjakan 1000 karyawan. Distributornya tersebar di 6 kota ada di Bandung, Jakarta, Surabaya, Cirebon, Semarang dan Karawang. Sementara Kantor pusat dan pabriknya berada di Bandung di Jl. Bojongkoneng no. 8. “Kita juga ada resto di kantor pusat. Jadi di sana juga ada workshop kue kering, wisata cookies, visit pabrik dan sebagainya,” jelas Paula.
Lalu apakah ada perbedaan gaya manajemen dengan sang pendiri? “Kalau zamannya Mama Ina masih by feeling. Dia juga menjadi PIC untuk semua divisi. Beliau belum mengenal orang marketing dan orang desain. Kalau mau mengeluarkan produk masih pakai feeling sepertinya kalau menjual castangle jenis ini laku deh,” ujar Paula.
“Di generasi kedua ini segala sesuatunya berdasarkan riset. Tidak bisa pakai feeling. Divsi bisnis juga sudah lengkap ada bagian desain, marketing, supervisi dan sebagainya. Akan tetapi tantangan kita juga berat karena distributor dan konsumsen kita masih dari kalangan baby boomers. Karyawan juga dari baby boomers jadi masih by feeling. Jadi tantangannya mengubah mindset dan kebiasaan. Kita juga melibatkan vendor untuk mengerjakan apapun seperti desain baru, packaging, ngerjain channel baru ritel seperri general trade, modern trade, dan e-commer,” bebernya.
Semakin Meroket Pasca Pandemi
Sejak berdiri Ina Cookies selalu naik grafik pertumbuhan bisnisnya, tapi pada saat pandemi COVID19 Ina Cookies mengalami penurunan. “Karena kita mengandalkan reseller dan reseller kita sewaktu pandemi banyak yang sakit dan meninggal. Makanya turun penjualan karena belum ada e-commerce. Tapi Mama Ina berpesan jangan terjadi pemecatan karyawan di masa pandemi,” jelas Paula.
“Nah ketika pandemi itu kita mencoba masuk e-commerce. Semua karyawan pusat pada jualan online, yang tadinya masak saja juga jualan. Ada karyawan yang tadinya chef membantu wrapping, packing, beralih fungsi jadi tukang packing. Di resto itu 100 orang bantu semua. Alhamdulillah tidak ada yang dirumahkan jadi shift kerjanya pagi masuk, dan siang sudah ganti karyawan,” sambungnya.
Selain itu, kebijakan yang dilakukan management Ina Cookies sewaktu pandemi, kata Paula, mengandalkan penjualan dropship. “Kita pernah melaukan dropship 12 ribu toples. Jadi dropship itu menjadi agen kirim, tapi kita yang packing. Dan itu cukup viral biasanya itu dilakukan reseller kita, tapi waktu itu tiarap semua resellernya. Omzet kita turun 30%. Tapi setelah pandemi meroket omzet tertinggi,” ungkapnya.
“Setelah pandemi Ina Cookies merenovasi pabriknya. Semula pabriknya memiliki 7 lantai sekarang jadi 4 lantai tapi lebih besar. Kemudian kita juga melakukan ekspansi toko, gudang dan office,” sambung wanita lulusan UNPAD jurusan Businss Management ini.
Sebagai generasi kedua yang bertugas memasarkan, Paula selalu mengandalkan tim dan riset. “Generasi pertama pakai feeling, tapi feelingnya kuat. Mama Ina bisa punya feeling nih orang bisa jadi agen besar dan benar feelingnya. Walaupun begitu, Mama Ina mampu mempekerjakan orang secara beriringan. Anak-anaknya diposisikan di jalur yang sesuai kemampuan dan bakatnya. Target kedepan menjadikan Ina Cookies sebagai perusahaan multinasional di tahun 2028,” jelasnya.
“Generasi kedua harus by riset, karena tidak punya pengalaman sepanjang Mama Ina. Apalagi sekarang zaman sudah banyak berubah, sudah zaman IA langganan 150 ribu sudah bisa digambarkan mau desain dan video macam apa. Semua orang sudah bisa kreatif di luar nalar dengan adanya IA, booth dan desainnya bagus-bagus kreatif semua. Kesulitan kita Bersaing dengan dunia yang semakin kreatif,” tandasnya.
Tantangan Paula sekarang ini adalah mejalilin silaturahmi sekaligus retensi yang ada. Ia harus tahu masing-masing problem dan kondisi distributor yang ada. “Saya punya keluarga, suami bekerja di BUMN yang terkadang harus tugas ke luar negeri. Seperti tugas di Singapura misalnya saya harus bolak balik, jadinya capek Senin sampai Minggu tidak ada libur. Namun saya happy dengan pekerjaan padat ini. Dari luar saya kelihatannya ceria terus padahal otak berpikir terus harus menyelesaikan banyak problem,” tuturnya.
Di antara anak-anak Mama Ina, Paula yang paling punya kemiripan. Selalu bergerak tidak mau diam. Sementara kakak dan adiknya kalem. “Kelebihan saya supel ceria, mirip Mama Ina lah. Sedangkan kakak dan adik saya rada kalem tapi semuanya hobi kerja. Hobi jalan-jalan. Tapi saya juga senang menyendiri nonton sendiri, jalan-jalan keliling ke luar negeri melihat toko bahan baku, melihat mesin dan packaging di luar negeri untuk inspirasi. Traveling sambil mikir lah,” ucapnya.
Tips bagi yang ingin menekuni dunia usaha, kata Paula, mulai aja dan jalankan dahulu saja. “Bila ada program langsung dar der dor take actions. Apa yang diinget langsung kerjain jangan ditunda-tunda. Karena inspirasi dan ide akan hilang momentumnya begitu ditunda-tunda,” pungkasnya.