Inovatif & Adaptif

inovatif&adaptif franchising majalah franchise

Pernah mendengar slogan “30 menit atau gratis” ?

Slogan yang terkenal dari Domino’s Pizza ini diluncurkan untuk menciptakan ceruk pasar baru dari produk pizza, yaitu konsumen yang menginginkan layanan antar dengan cepat. Di sisi lain, kecepatan dalam hal mengirimkan pizza ini sangat penting, karena pizza memang tidak nikmat bila sudah dingin.

Mengapa Domino’s Pizza berani memberikan jaminan seperti itu? Bagaimana cara Domino’s memenuhi janji yang sangat berani itu?

Konon Tom Monaghan, pendiri Domino’s Pizza, mampu memenuhi janji ini karena ia hanya menyediakan 2 ukuran pizza yang hanya satu jenis, dengan satu pilihan minuman. Jadi, kesederhanaan menjadi kekuatannya.

Jim Osterman dalam sebuah artikel di AdWeek pada tahun 1987 menyebutkan, “Historically, Domino’s menu consisted solely of one pizza in two sizes (12-inch and 16-inch), 11 toppings, and Coca-Cola as the only soft drink option.”

Ketika Pizza Hut dan Papa John’s memberikan layanan antar pula, kesederhanaan Domino’s Pizza yang semula merupakan kekuatannya menjadi kelemahannya. Pizza Hut dan Papa John’s memiliki pilihan menu yang lebih bervariasi. Penjualan Domino’s pun mengalami penurunan dari waktu ke waktu, dan mereka memutuskan untuk mengubah konsepnya menjadi memiliki lebih banyak pilihan. Ini berarti harus ada perubahan, mulai dari pengelolaan dapur hingga modul-modul pelatihan. Mungkin kriteria atau kualifikasi pegawai dapur juga harus ditingkatkan.

Tidak ada pilihan lain. Menjadi inovatif dan adaptif terhadap perubahan merupakan tuntutan setiap pebisnis untuk tetap bertahan di tengah perubahan yang senantiasa harus dihadapi dari waktu ke waktu.

Keputusan Domino’s tersebut secara tidak langsung dapat dikatakan mengubah konsep bisnis mereka. Yang menarik di sini adalah bahwa mereka tidak menganggap tabu untuk mengubah konsep bisnis yang semula merupakan ciri khas, bahkan mungkin dapat dikatakan merupakan keunggulan mereka. 

Transaksi Online

Perkembangan bisnis online dengan berbagai terobosan yang disebut sebagai strategi “bakar duit” alias “subsidi diskon” jelas mempengaruhi peta persaingan bisnis dengan sangat sengit. Bertahan dengan bisnis offline saja adalah sikap yang kurang bijaksana.

Seorang rekan pemilik toko handphone bercerita bahwa ia pun menjadi merchant di beberapa toko online untuk menjual handphone meski dengan margin yang lebih rendah.

Beberapa waralaba makanan dengan cepat menggandeng Go-Food. Beberapa mengeluh karena margin yang tergerus oleh pihak Go-Jek yang menjalankan Go-Food terasa sangat signifikan. Beberapa lagi dengan jeli hanya menawarkan beberapa menu tertentu dengan margin yang masih cukup layak untuk berbagi dengan Go-Jek.

Pemberi Waralaba (pewaralaba) bisnis retail mengalami dilema yang lebih rumit, antara menangani sendiri penjualan online, atau bekerja sama dengan Penerima Waralaba (terwaralaba) dalam melayani transaksi online mereka. Ada pewaralaba yang memutuskan untuk mendirikan unit khusus bisnis online dan tidak bekerjasama dengan terwaralaba mereka, ada yang memutuskan untuk meneruskan transaksi online tersebut kepada terwaralaba mereka untuk ditindaklanjuti. Dalam hal ini tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Tentu ada banyak pertimbangan di balik keputusan tersebut.

Bila harga jualnya cenderung akan lebih murah dari toko offline, maka sebaiknya pilihannya dibuat terbatas, dan dikelola oleh unit tersendiri. Keberadaan unit ini bukan berarti tidak bisa menggandeng terwaralaba. Pihak terwaralaba terdekat dapat mengambil peran sebagai agen atau kurir dengan komisi penjualan yang berbeda dengan margin jual secara offline. Tentu saja nanti harus ada penyelesaian administratif dan prosedur tambahan.

Semoga bermanfaat.

© 2017, Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting – Indonesia.

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com