Memutuskan Pilihan Sulit dalam Arus Ketidakpastian

Dalam hidup, adakalanya kita “dipaksa secara tak sadar” untuk membaca “black campaign” yang sangat mengusik hati nurani kita. Sungguh sulit untuk memilih yang tepat dalam kondisi seperti ini, persis seperti kita memasuki supermarket dan disodori beraneka pilihan sedangkan “uang” yang kita miliki sangat sedikit.

Sungguh tidak mudah untuk membuat keputusan yang tepat, apalagi dengan informasi yang saling bertolak belakang, tergantung “sang informan” berasal dari kubu mana. Sungguh tidak mudah menentukan di saat kita tahu bahwa satu suara pun akan sangat berarti dalam memberikan kontribusi terhadap arah bangsa dan negara yang kita cintai ini.

Pilihan sulit ini dalam dunia franchise juga sering kita alami dalam menghadapi kondisi perusahaan yang sedang meredup, ataupun saat me-review kinerja outlet yang ternyata tidak dapat memenuhi target perusahaan yang diinginkan. Outlet yang tadinya kita kembangkan dengan segala upaya dan harapan, adakalanya kita terpaksa harus membuat keputusan sulit antara tetap mempertahankannya ataupun terpaksa melakukan penutupan outlet.

Sejumlah argumentasi dan analisa, walaupun adakalanya keputusan final sering tidak semata hanya memperhitungkan aspek ekonomi, tetapi bisa juga aspek perasaan, menjadi salah satu yang tetap berkontribusi dalam membuat keputusan final tersebut.

Jika keputusan final sudah dibuat, kita tentu akan berhadapan dengan human capital di outlet tersebut. Apa langkah kita yang akan diambil berkaitan dengan human capital yang ada? Yang tentu dipikirkan adalah perlu melihat kembali dalam database kita tentang human capital yang kita miliki. Apakah memang dia layak menjadi human capital yang akan terus kita pertahankan atau memang hanya sekedar menjadi sumber daya manusia saja.

Pilihan yang diambil tentu berkaitan dengan semua konsekuensinya. Jika memang kita perlu mengakhiri hubungan kerja yang terjalin, maka tentu perusahaan harus menyediakan dana yang layak sesuai dengan aturan pemerintah sebagai “kado tanda pisah”. Jika memang kita ingin tetap mempertahankannya, maka tentu dibutuhkan perlakuan yang berbeda karena keputusan tersebut membutuhkan komitmen dari karyawan itu sendiri untuk mempertahankan ataupun membuat kinerjanya semakin baik.

Mempertahankan human capital di saat sulit membutuhkan saling pengertian di antara kedua belah pihak. Tidak hanya cukup selembar kertas kesepakatan hubungan kerja, tetapi lebih ke arah menggali pemahaman untuk berbagi informasi secara jujur terhadap kondisi perusahaan yang sulit, bersama-sama mencari inovasi dan menggali kreativitas bersama agar perusahaan yang sedang terpuruk ataupun meredup dapat bangkit kembali.

Sebagai pemilik perusahaan franchise, kita selalu berharap bahwa badai yang dihadapi akan teratasi secepat mungkin. Bahwa semua kesalahan yang pernah dilakukan tidak akan terulang lagi dan menjadikan kegagalan sebagai ‘’lesson learned” yang berharga. Itulah impian kita sebagai pengusaha. Tapi bagaimana proses “lesson learned” ini dapat terkomunikasikan dengan baik kepada para human capital dan membangun perilaku baru yang berbeda dari sebelumnya?

Ada beberapa tahap yang perlu dilakukan agar kita dapat menghadapi arus ketidakpastian ke depan sesudah mengalami “gelombang hebat” yang membuat perusahaan jadi terpuruk sebagai berikut:

1. Memetakan kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) perusahaan franchise yang kita miliki. Kenali dengan cermat dan jujur. Terkadang dibutuhkan pihak luar seperti consultant untuk dapat secara obyektif melakukan pemetaan ini.

2. Menganalisa dan membuat daftar “best practice” apa saja yang menjadi kekuatan organisasi franchise milik kita. Apakah itu di sistem, manusia, struktur, nilai dan lain-lain.

3. Menganalisa dan membuat daftar kegagalan yang sudah terjadi selama ini dan memastikan untuk mencoret “failure practice” dari semua Prosedur Kerja yang ada.

4. Menggali potensi organisasi yang bisa dikembangkan ke depan sejalan dengan tekanan dan trend dunia bisnis yang kita geluti.

5. Memperhatikan semua potensi ancaman, baik terhadap produk, kompetitor, supply maupun regulasi yang ada. Bisa jadi ancaman tersebut belum terlihat dengan jelas, tetapi justru itulah tugas para owner dan CEO untuk dapat mengenali sinyal-sinyal potensi ancaman tersebut.

6. Menyusun intervensi perilaku kepada para human capital agar apa yang menjadi tujuan organisasi beserta pemetaan di atas menjadi kerangka pemahaman untuk membangun pondasi yang lebih kuat, termasuk intervensi mengelola “kecemasan” terhadap pembelajaran hal-hal yang baru.

7. Yang terpenting adalah membangun kepercayaan pada semua tim human capital bahwa kondisi baru yang akan diraih pasti akan lebih baik untuk perusahaan dan tentunya untuk dirinya sendiri.

Sesudah melewati tahap tahap ini, akhirnya kita sebagai pemilik perusahaan dapat membangun harapan dan keyakinan bahwa ada dunia yang lebih baik yang akan membawa kita sebagai pemilik perusahaan bersama seluruh team human capital yang kita miliki menjadi PEMENANG. Seperti juga keyakinan dari kita semua saat Pilpres nanti, ketika kita harus membuat keputusan sesuai hati nurani kita untuk memilih pimpinan tertinggi negara ini, bahwa negara kita akan lebih baik dari hari ini. Semoga.

Ir. Mirawati Purnama Msi.