Waralaba Perlu Pembinaan

Waralaba Franchise Perlu Pembinaan Coaching

Industri waralaba memang tengah tumbuh pesat beberapa dekade ini. Sebagai konsep pemasaran, waralaba dinilai cukup efektif menumbuh-kembangkan sebuah usaha dengan cepat, dari sekala kecil menjadi jejaring bisnis berskala global yang berjalan dengan standar dan sistem yang baik.

Merek waralaba kerap menjadi symbol di suatu negara karena seringkali menjadi ikon yang mengubah life style prilaku konsumen. Sebut saja Mc Donald yang menjadi icon waralaba fast food Amerika. Juga Starbuck yang mengubah life style minum kopi di Amerika. Di Indonesia sendiri ada Es Teler 77 yang menjadi icon merek waralaba yang berhasil mengembangakan produk gerobak menjadi berkelas restoran.

Maka tidak heran hingga saat ini waralaba masih menjadi primadona sebagai pola pengembangan bisnis. Namun sayangnya di Indonesia pertumbuhan waralaba tidak sepesat sebagaimana negara-negara Asia. Sebut saja Korea Selatan yang saat ini perkembangan waralaba kian pesat. Banyak  merek waralaba asal Korea yang ekspansi ke luar negeri termasuk Indonesia.

Pun demikian dengan Thailand dan Taiwan. Banyak merek waralaba asal sana yang masuk ke Indonesia. Di sini produknya menjadi booming. Misalnya Thai Tea, Jus Mango dan sebagainya.

Sementara Indonesia sendiri hampir tidak ada merek waralabanya yang sukses ekspansi dan menjadi trend di negara luar. Tentu saja ini menjadi pekerjaan rumah kita semua.

Harus diakui, Negara berkembang memang perlu ada pembinaan dan pendampingan. Untuk itu memang makan biaya, karena yang namanya pembinaan tidak bisa berjalan sendiri. Karena itu juga di awal-awalnya berkembangnya waralaba di Indonesia, Martin Mandelson, Pakar Franchise dari luar negeri mengusulkan untuk membangun yang namanya Franchise Resource Center.

Setidaknya, perlu ada yang mengkoodinir, perlu ada anggaran, dan perlu tenaga pelatihan. Dan itu mau tidak mau merekrut orang atau mengirim orang ke luar negeri untuk belajar, dalam hal ini konsultan. Setelah itu ada ikatan dinas, mengajar ilmunya yang didapat dari luar negeri.

Di Singapura misalnya, pelaku waralaba mendapat 75% subsidi dari pemerintah, Malaysia mengasih free 15% dana untuk yang mau franchise, tapi dia juga membantu free konsultan.Apabila pelaku waralaba mau meminjam di bank, mereka mendapat potongan bunga setengah dari pinjaman biasanya dari pemerintah Malaysia.

Tidak heran jika banyak dari Malaysia eskpansi ke luar negeri seperti Secret Recipe. Marry Brown, dll.

Jadi memang mustinya pembinaan dilalukan secara tekun dan terus menerus, jangan setengah jalan. Harus memiliki program yang berkelanjutan. Tahun 2004-2005  pemerintah pernah membantu waralaba lokal ekspansi ke luar negeri. Kita bawa CFC dan Papa Rons Pizza. Namun saat ini tidak banyak waralaba lokal yang punya track record yang baik.

Industri franchise di luar negeri terus berkembang. Di Amerika terus berkembang, di Australia juga terus berkembang. Negara-negara seperti Korea dan Thailand saja sekarang sudah jauh berkembang dibanding kita, padahal dahulu asosiasinya kurang solid, mereka baru berdiri  bersatu tahun 1997. Sementara AFI sudah berdiri sejak 1991.

Perihal pengaturan mengenai Franchise, saran saya franchise tidak usah dibatasi, biarkan saja mereka tumbuh. Hal-hal semacam itu tidak perlu diatur Pemerintah, tapi diajak ngomong saja. Yang jadi masalah adalah bila master franchise yang tidak mau melepas franchisenya atau subfranchise, tapi hanya mengembangkan company own. Karena yang kita butuhkan saat ini pembinaan dan pendampingan terutama untuk usaha-usaha lokal.

Anang Sukandar

Chairman Asosiasi Franchise Indonesia