Sejarah Franchise di Indonesia

  1. Berawal di era 90an

Sejarah franchise Indonesia dimulai sejak tahun 90an, berawal dari ILO memberi tugas pada LPPM untuk melakukan studi mengenai franchise di Indonesia yang disebut base line study. Studi ini disponsori oleh ILO dalam rangka membantu Indonesia dalam menghadapi angkatan kerja baru.

Saat itu belum ada bisnis franchise lokal yang berdiri. Namun, bisnis franchse sudah masuk ke Indonesia lebih awal sekitar 20 tahun sebelum studi itu dilakukan.

Pada tahun 70an, bisnis franchise sudah masuk ke Indonesia. Merek-merek pertama kali yang masuk adalah KFC, yang dibawa oleh Dick Gelael sebagai master franchise merek tersebut. Kemudian Swensen’s, yang menjual ice cream.

Selain dua merek tersebut, ada beberapa merek lain diantaranya Shakey Pizza yang dibawa oleh Ron Muller ke Indonesia. Ron Muller dikenal sebagai tokoh Pizza yang kemudian mengembangkan Pizza Hut, dan belakangan mendirikan Papa Ron’s Pizza. Sayangnya, Shakey Pizza gagal di Indonesia.

Lalu ada juga 7Eleven dan Burger King di tahun 70an yang masuk ke Indonesia, Nasib dua merek ini pun seperti Shakey Pizza, tidak bisa berkembang di Indonesia dan harus kembali ke negara asalnya. Mereka dianggap terlalu dini masuk ke Indonesia dan produk yang ditawarkannya belum akrab dengan lidah orang Indonesia.

Berbeda dengan Mc Donald’s, yang kehdirannya di Indonesia langsung diterima oleh konsumen di Indonesia karena menggeser main menunya ke ayam goreng; produk makanan yang sangat akrab di lidah orang Indonesia. Meskipun di negeri asalnya Amerika, menu utama Mc Donalds adalah burger.

Dua merek yang gagal di era 70an kini kembali lagi ke Indonesia pada tahun 2000an, dan berhasil. Konsumen Indonesia sudah teredukasi oleh menu yang mereka tawarkan. Burger King kini berkembang di berbagai mal di Indonesia. 7Eleven yang kehadirannya dibawah oleh Modern Photo Group melakukan berbagai penyesuaian, tidak lagi sebagai ritel mini market, tetapi menawarkan konsep seperti resto yang menyediakan makanan siap saji dan menjadi tempat nongkrong paling ramai di setiap gerainya.

Pada tahun 70an, Indonesia masih belum stabil secara ekonomi dan politik karena baru lima tahun mengalami pergantian kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto. Era Soekarno, kebijakan politiknya cenderung tertutup terhadap asing.Apalagi hubungan politik dengan Negara Adikuasa saat itu, Amerika Serikat sangat tidak harmonis.Kiblat politik Soekarno saat itu cenderung ke Uni Sovyet, sebelum Negara ini runtuh dan terbelah menjadi Negara-negara kecil karena kebijakan glasnost dan perestroika Michael Gorbacev.

Soekarno cenderung tertutup terhadap investasi asing.Dan pada era itu, super market pun hanya ada satu, yatu Sarinah yang terletak di jalan Thamrin.

Pada saat itu belum ada franchise lokal. Franchise asing pun hanya di kelola dan dikembangkan jaringannya oleh master franchisenya semata, tidak diberikan hak waralaba lanjutan kepada para peminatnya.

Umumnya pertimbangan banyak pelaku waralaba asing di Indonesia hanya memberikan secara eksklusive hak waralabanya hanya kepada master franchise karena menjaga prinsip standarisasi.

Sebut saja standar kebersihan gerai, jika dikelola oleh satu orang, dalam hal ini seluruh cabang dikendalikan oleh satu pihak saja, yakni master franchise, maka franchisor lebih mudah mengontrolnya. Tetapi jika dikelola oleh beragam franchisee, maka ada satu yang nakal saja, bisa berdampak pada gerai yang lainnya.

Di Indonesia, untuk menjaga hal ini, yaitu kontrol melalui satu pihak agar terjaga standarisasi dalam seluruh system operasional, dilakukan kreasi melalui franchise dengan system franchisor operator. Cara ini banyak dilakukan oleh bisnis franchise mini market untuk menjaga standard an juga memudahkan control dalam operasional bisnis.

Meskipun saat ini sudah ada regulasi yang dikeluarkan pada masa pemerintahan SBY, bahwa setelah mencapai 250 gerai, franchise atau master franchise diwajibkan untuk membagi kesempatan kepada para franchisee yang berminat dalam bisnis mereka. Sehinga tidak ada alasan lagi dengan argumen standarisasi mereka tidak bersedia untuk memberi kepada franchisee.

Belum adanya franchise lokal di era 70an bukan berarti tidak ada bisnis lokal dengan jaringan yang besar  dengan sistem yang baik dan kuat. Asing punya KFC saat itu, dan Indonesia sebetulnya punya Ayam Goreng Mbok Berek yang memiliki banyak gerai, hanya saja saat itu bukan franchise.

Hingga tahun 1990, Indonesia masih belum memiliki bisnis franchise lokal. Bisnis franchise lokal baru mulai setelah berdirinya Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) pada 1991.

  • Pelopor franchise Lokal   

Sejarah bisnis franchise lokal di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari lima perusahaan yang menjadi penggerak bisnis franchise lokal. Lima bisnis itu memiliki sejarah sukses dan system operasional yang baik, serta pemasaran yang jitu pada era 90an.

Mereka ini yang kemudian dikumpulkan dan didorong menjadi bisnis franchise, yang diharapkan menjadi contoh sukses yang bisa diikuti oleh wirausahawan-wirausahawan di belakang mereka. Pemilik dan professional dari lima perusahaan itu kemudian juga dipercaya menjadi penggerak bisnis franchise, yang kemudian mendirikan Asosiasi Franchise Indonesia.

  • TRI-M

TRI-M adalah nama atau merek dari gerai yang dimilikin oleh Trims Mustika Citra. TRI-M berarti mudah, murah dan modern. Perusahaan ini yang menjadi salah satu dari lima usaha yang direkomendasikan oleh ILO untuk dijadikan sebagai bisnis franchise.

Perusahaan ini berdiri pada 1986, sebuah supermarket yang menawarkan harga murah kepada konsumennya.Konsepnya adalah gudang rabat, sehingga konsumen belanja secara grosiran.

Ekspansi jaringan TRI-M sangat agresif hingga mnemiliki 27 cabang.Anang Sukandar tercatat sebagai direktur di perusahaan ini, sehingga LPPM mengundangnya untuk mendorongnya sebagai bisnis franchise. TRI-M menjadi perusahaan franchise pertama di Indonesia, dan sempat menawarkan peluang franchise. Dengan 4 sentra distribusi yaitu 2 di Jakarta, satu di Jateng dan Satu lagi di Sulawesi Selatan.

Namun, TRI-M hanya bertahan hingga 1993.Bisnis ini harus tutup, karena tidak didukung oleh situasi ekonomi saat itu.Perbankan saat itu menerapkan bunga yang tinggi hingga 31%.Sehingga bisnis ini tidak bisa berkembang oleh karena tidak ada dukungan finansial dengan bunga yang rendah.

“Iya, memang gagal, tapi saya yang pertama.TRI-M waktu itu juga buka peluang franchise. Cabang bisnisnya sudah mencapai 27 gerai,” kisah Anang mengenang.

  • Es Teler 77

Hingga saat ini, merek Es Teler 77 masih tetap eksis dan bahkan sudah ekspansi ke Malaysia dan Singapura. Merek ini menjadi saksi hidup sejarah franchise dan sejarah Asosiasi Franmchise Indonesia (AFI).

Es telermerupakan produk minuman khas Indonesia berupa campuran buah seperti Alpukat, kelapa muda, nangka, dan buah-buahan lainnya disajikan dengan susu kental manis, dengan parutan es (ice) dan campuran gula dan sedikit garam.

Es Teler 77 didirikan di Jakarta Sukyatno Nugroho dan mertuanya Murniati Widjaja pada 1981.Berawal dari sebuah kompetisi es teler, murniati memenangkan kompetisi di kompleknya untuk kategori es teler. Keduanya lalu mendirikan kedai kecil di pinggir jalan di daerah Duta Merlin, Jakarta dengan nama Es Teler 77. Angka 77 itu disesuaikan dengan tanggal berdirinya, yaitu 7 Juli atau tanggal 7 bulan 7.

Es teler 77 berkembang menjadi gerai resto minuman dan makanan siap saji dengan produk favoritnya es teler. Merek ini menjadi bisnis franchise lokal yang paling popular di Indonesia. Gerainya sudah mencapai hampir 200 gerai.

Perusahaan yang berdiri di awal tahun 80 ini berpotensi kuat menjadi bisnis franchise pertama di Indonesia. Pemiliknya, Sukyatno Nugroho diundang untuk menjadi salah satu penggerak franchise Indonesia, bersama perwakilan dari empat perusahaan lain. Usia Sukyatno yang pada 90an masih 42 tahun.Semanganya masih tinggi.Dia merupakan salah satu pendiri AFI yang paling aktif dalam merumuskan visi dan misi asosiasi, serta pembuatan logo AFI. Dia menjadi sekjen pertama AFI ketika resmi berdiri pada 1991.

Sukyatno Nugroho atau Hoo Tjioe Kiat lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada 3 Agustus 1948. Dia meninggal dalam perjalanan pengobatan ke Singapura dalam serangan stroke yang ketiga pada 9 Desember 2007.

Semasa hidupnya, dia pernah menulis buku berjudul “18 jurus sakti dewa Mabuk membangun bisnis.”

  • Widyaloka

Era 90an, nama tempat kursus komputer Widyaloka sangat popular. Lembaga kursus ini merupakan lembaga kursus komputer pertama yang paling agresif di Indonesia.Lembaga ini menjadi rujukan media ketika menulis tentang perkembangan kursus dan juga komputer di Indonesia di era pertengahan 80 hingga 90an.

Seperti kita ketahui, era 60an merupakan awal masuknya komputer ke Indonesia.Namun, pada era ini pemahaman masyarakat terhadap komputer masih sangat dangkal.Masyarakat mulai menunjukkan minatnya untuk mengenal dan memahami komputer dimulai pada era 80an.Pada era ini, Widyaloka hadir menawarkan kursus komputer.

Usaha ini berkembang pesat pada era 90an, dimana merupakan era perkembangan dunia komputer.Di tengah-tengah minat masyarakat yang tinggi terhadap pemahaman komputer, bisnis kursus komputer Widyaloka ikut berkembang pesat.

Widyaloka kemudian dilirik oleh LPPM sebagai salah satu bisnis yang ingin didorong menjadi usaha waralaba. Willius pun diundang sebagai perwakilan Widyaloka untuk terlibat dalam pendirian Asosiasi franchise Indonesia (AFI).

Sejalan dengan pendirian AFI, Willius juga mengemabangkan bisnisnya menjadi usaha waralaba. Ketika menjadi usaha waralaba, bisnis ini berkembang sangat pesat dan jaringanya sangat besar.

Museum Rekor Indonesia (MURI) pun melirik bisnis ini dan  memberikan penghargaan rekor Muri kepada Widyaloka yang berhasil mengembangkan jaringan kursus kopmputer terbanyak di Indonesia saat itu. Saat itu cabang bisnis franchisenya sudah mencapai 26 gerai.

Willius kemudian hijrah ke Palembang dan saat ini bergelut di dunia pendidikan.Di kota itu, Willius membangun sekolah pendidikan untuk anak-anak usia dini Palm Kids. Sekolah ini sangat popular di Palembang dan banyak mendapatkan liputan media di kota itu.

Sekolah yang didirikan tahun 2000 itu menyediakan pendidikan dari pre-school, kindergarten (TK), dan primary school (SD).Sekolah ini dikembangkan dengan system waralaba dan jaringannya sudah tersebar di berbagai kota seperti Bandar Lampung, Prabumulih, Tanjung Enim, Pangkal Pinang, Pekanbaru, Medan, Purwokerto, Malang, Jogjakarta.

  • Libra Cake

Libra Cake saat ini dikelola oleh generasi kedua. Bisnis ini sudah berdiri sejak 1979, didirikan oleh Ibu Christin. Sebagai pelopor frachise wedding cake di Indonesia, Libra Cake sudah punya nama di industri cake Indonesia bahkan pelanggannya ada yang berasal dari Amerika dan Singapura.

Para SDM yang bertebaran di perusahaan cake Indonesia dikleim banyak yang jebolan dari Libra Cake. “Kebanyakan merek-merek baru kue pasti ada orang kita di dalamnya. Mereka pernah menjadi anak buah manager kita,” ujar Boy Christian, Generasi Kedua yang mengelola Libra Cake.

Keberhasilan Libra hingga bertahan puluhan tahun adalah karena terus konsisten di jalur cake special wedding dan event. Berbagai macam jenis kue khusus weddingdan event pernah dibuat oleh Libra Cake. Mulai dari kue untuk wedding, kue ulang tahun, sweet seventeen, kue perayaan Lebaran, Natal, Imlek, dan kue satu bulan bayi lahir atau kue omo (one man all). Yang menjadi curi khas lainnya dari Libra Cake adalah kue lapis Surabaya.

Untuk mempertahankan eksistensinya Libra Cake selalu berpartisipasi di pameran kue. Pada saat pemeran Libra Cake biasanya menampilkan inovasi baru yang diikuti pemain lainnya.

Untuk bisa bersaing Libra Cake terus melakukan kreativitas baik dari segi desain, ornament dan sebagainya. Biasanya Libra membuat trobosan dengan membuat cake yang belum ada. Misalnya, cross alba, buat dekorasi kue balon Amerika, perlombaan cake di Singapura, membuat Angsa dari gula yang divariasi, naga, phoenix dan sebagainya.

Libra Cake terus menyempurnakan sistem bisnis serta melakukan berbagai inovasi untuk bisa bersaing dengan pemain baru.Bagi yang berminat menjadi calon investor Libra Cake juga masih membuka peluang bisnisnya.

  • Homes 21

Homes 21 merupakan pioneerwaralabayang bergerak dalam bidang pemasaran perumahan, real estate, dan property. Para franchisee dalam sistem Homes 21 disebut konsultan.Karena waktu itu (era 90an), istilah broker dalam bisnis perumahan memiliki citra negatif.

Setia franchisee berhak menggunakan merek dagang Homes 21, mengikuti pelatihan yang disebut 2 in 1 salesmenship.Menggunakan MLS (Multiple Listing System) dan bantuan dalam promosi, periklanan, negosiasi, serta pemasaran.

Sebagai franchisor, Homes 21 juga bekewajiban memberi bantuan kepada franchisee dalam bidang desain kantor dan tata letak, advis keuangan, pedoman operasi, manajemen dan pelatihan karyawan, data pasar dan tuntunan, sistem pelaporan manajemen, konsultasi bulanan, negosiasi dan tawar menawar, appraisal dan pricing.

Keunikan franchise Homes 21 ada pada sitem MLS, sistem pelayanan, pemasaran dan kerja sama antara konsultan dengan konselor (Salesman bersertifikat). MLS merupakan pusat informasi dan analisis pasar perumahan dan property.Sistem ini memuat kualifikasi rumah/property, analisis trend pasar dan harga, daerah likuid, dan daftar pembeli potensial.

Sistem pelayanan perusahaan ini memberikan jaminan bahwa rumah/property yang ditawarkan legal, aman, harga sesuai kondisi, dan pembeli tidak dikenai uang komisi.

Franchise Kini

Daya saing merek-merek lokal atau merek-merek Indonesia hingga kini masih belum menggembirakan.Ekspansi merek-merek Indonesia ke luar negeri masih sangat terbatas.Indonesia masih belum memiliki yang disebut sebagai brand global atau merek internasional.

Jika pun ada, hanya terbatas pada beberapa negara saja, misalnya brand asal Indonesia yang sudah masuk ke beberapa negara tetangga dan Australia.

Gambaran tentang posisi merek-merek Indonesia masih relatif kalah dibandingkan merek-merek global lainnya bisa disaksikan di berbagai mal-mal terkemuka di Indonesia.Dominasi merek asing, terutama di industri fesyen sangat kentara.

Fenomena merek-merek Indopnesia seperti digambarkan di atas tidak hanya terjadi pada industri franchise saja.Di perbankan misalnya — yang non franchise — Indonesia belum memiliki merek lokal yang bisa disejajarkan sebagai merek global.

Kalau Anda jalan-jalan ke luar negeri, misalnya ke Singapura atau Kuala Lumpur saja, sulit menermukan merek-merek asal Indonesia. Hanya beberapa saja. Di Franchise, kita menemukan merek-merek seperti Martha Tilaar Salon Day Spa, Ayam Bakar Wong Solo, Es Teler 77, JCo dan beberapa merek lainnya.

Data yang dimiliki AFI tentang merek-merek franchise lokal masih sangat sedikit. Sejak tahun 70an hingga saat ini, bisnis-bisnis franchise masih didominasi oleh merek-merek asing.

Pada sisi perkembangan jumlah franchise lokal sejak 70an, data yang ada tidak menggembirakan. Jumlah pemain franchise lokal masih sangat sedikit. Namun demikian, AFI sebetulnya sudah merintis jalan agar franchise-franchise Indonesia sejajar dengan merek global lainnya.

Salah satu peran AFI yang ingin mensejajarkan bisnis-bisnis franchise Indoensia sejajar dengan franchise global adalah melalui keterlibatan AFI secara aktif sebagai pendiri Asia Pacific franchise Confederation, dan menjadikan Indonesia sebagai anggota World Franchise Council.

Idealnya, dari perkembangan industri ini selama 45 tahun sejak 1970an, mestinya franchise lokal sudah berjumlah 500an merek, atau setara dengan jumlah franchise asing yang masuk ke Indonesia. Nyatanya, dibandingkan dua negara tetangga Malaysia dan Singapura, Indonesia masih kalah.

Singapura yang penduduknya hanya 5 juta jiwa, franchisenya sudah mencapai 50 merek.Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 250 juta jiwa, franchise lokalnya hanya 85 saja. Indonesia hanya menjadi pasar bagi negara-negara lain karena jumlah penduduknya yang sangat besar, sehingga franchise asing sangat mendominasi pasar Indonesia. Sebaliknya, tidak banyak pertumbuhan bisnis franchise lokal.

Dalam catatan AFI, pertumbuhan bisnis franchise local yang sangat lamban disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, unsur entrepreneurship yang masih kurang.Jiwa entreprenenurship sebagian besar masyarakat Indonesia masih lemah. Sebagian penduduk berorientasi untuk bekerja, bukan untuk berbisnis. Mereka bersekolah tinggi sebagian besar karena berorientasi untuk bekerja kantoran, tidak untuk menjadi businessman.

Faktor tersebut disebabkan oleh daya juang dan daya saing mental yang tidak kuat. Apalagi didukung oleh ketersediaan sumber daya alam yang besar, sehingga mental yang terbentuk sangat lemah.  Karena itu, hanya sedikit localentrepreneur yang berhasil mengembangkan bisnis franchise.

Berbisnis franchise dan juga bisnis konvensional lainnya membutuhkan mental yang kuat, dan daya juang yang tinggi. Tanpa keuletan, sulit untuk berhasil menjadi pebisnis franchise. Nyatanya memang tidak mudah mendirikan dan membangun serta membesarkan bisnis franchise. Bahkan, jumlah franchise lokal bukan malah bertambah, justru makin berkurang.

Kedua faktor manajemen dan ilmu pemasaran.Sebetulnya, franchise merupakan konsep pemasaran, sehingga para franchisor harus menguasai ilmu pemasaran dan manajemen sebelum mengembangkan bisnis franchise. Faktanya, para pelaku usaha franchise local masih sangat kurang menerapkan manajemen dan strategi pemasaran yang baik. Sehingga sebagian besar bisnis franchise tidak berkembang dan justru berguguran.

Ketiga, orientasi jangka pendek. Sebagian besar pelaku usaha franchise yang mencoba masuk ke industri ini tergoda oleh kepentingan jangka pendeka. Yaitu, keinginan meraih keuntungan melalui intial fee dari franchisee mereka secara cepat, tanpa diimbangi oleh upaya untuk meengembangkan bisnis secara sustain. Mereka mau cepat kaya, tetapi tidak fokus pada masa depan bisnis.

Ini yang menjadi tantangan terberat bagi franchise Indonesia, dimana kerusakan ditimbulkan oleh pemainnya sendiri. Masyarakat yang ingin berbisnis dengan membeli hak waralaba lokal akanmenjadi kapok karena pengalaman gagal disebabkan oleh orientasi jangka pendek franchisornya.

Keempat, peran pemerintah yang tidak maksimal dalam melindungi pelaku bisnis franchise, terutama yang kecil-kecil.Pemerintah mesti mengambil peran yang besar seperti beberapa negara tetangga dengan memberikan support yang kuat terhadap para pelaku usaha franchise. Mereka tidak dilepas begitu saja, tetapi dibina dan didampingi agar bisnis mereka kuat, diberikan fasilitas atau akses keuangan, serta dipromosikan

Tidak Sesuai harapan

Pada era 70an, ketika pertama kali franchise asing masuk ke Indonesia, istilah franchise masih belum dikenal oleh masyarakat Indonesia. Era itu masih terlalu pagi bagi Indonesia. Singapura yang perkembangannya franchisenya kini sangat maju, pada tahun 70an juga masih belum akrab dengan istilah franchise.

Istilah franchise mulai marak ditelinga masyarakat Indonesia pada era 2000an. Hal itu dipengaruhi oleh masuknya beberapa merek asing yang menggunakan system waralaba seperti McD, Pizza huts. TG Friday dan beberapa merek asing asal Amerika lainnya. Dari merek-merek ini, masyarakat Indonesia baru mengerti bahwa ini adalah bisnis franchise.

Namun demikian, masyarakat baru mengenal kata dan istilahnya saja, belum memahami secara konsep apa itu franchise.

Hingga saat ini, pemahaman yang utuh dan sesungguhnya mengenai franchise masih belum dimiliki oleh masyarakat secara luas. Hal itu bisa dilihat dari belum memahaminya masyarakat perbedaan antara franchise dan BO. BO masih seringkali dianggap sebagai franchise.

Pemahaman yang masih “keliru” ini mengakibatkan perkembangan franchise di Indonesia juga tidak menggembirkanan, dan tidak sesuai harapan. Akibatnya, perkembangan franchise sangat lamban, jika tidak bisa dikatakan jalan ditempat.

Perkembangan terpesat dari Industri ini juatru ada di BO. Itupun jika dilihat perkembangannya dari sisi populasi jumlah bisnisnya. Sampai sat ini, jumlah BO di Indonesia mencapai hampir 2000 unit usaha.

Perlu diketahui, karakteristik franchise itu sangat berbeda dengan BO.Franchise membutuhklan ketekunan yang prima bagi para pelakunya untuk menjadikan bisnisnya sustainable, bukan musiman.

Di Indonesia, franchise sangat kurang pertumbuhannya disebabkan oleh tidak adanya ketekunan, tidak adanya iniovasi dan para pelakunya ingin cepat puas dan mengejar keuntungan jangka pendek.

Mengejar keuntungan jangka pendek hanya cokok untuk bisnis BO yang sifatnya musiman. Dan sebagian besar para pelaku usaha justru berlari ke arah ini. Alhasil, franchise seperti ditinggalkan dan berduyun-duyun menggarap BO.

Fakta yang ada Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), saat ini, Bo berjumlah sekitar 90%, sedangkan sisanya yang 10% franchise. AFI melihat perkembangan ini sangat memprihatinkan. Ini diseabkan oleh para pelakunya yang ingin cepat cari duit. Bisnisnya yang belum matang dan belum memenuhi persyaratan franchise sudah ditawarkan dan dibilang franchise. Padahal ini merupakan sebuah penipuan terhadap para mitra mereka.

Di beberapa negara lain, franchise justru lebih baik. Misalnya di Malaysia, Singapura, Australia dan Amerika, dimana pemerintahnya berperan aktif ikut mengembangkan industri ini.

Di Indonesia, franchise tidak berkembang dengan baik dan sewajarnya. Sangat lamban. Padahal Korea dan Thailand sebagai negara kecil waralabanya sudah menjadi global franchising.Apakah itu mungkin disebabkan oleh negara mereka yang kecil, sehingga mereka fokus mennggarap pasar luar nageri dan serius menjadikan waralabanya sebagai global franchising? Saya tidak tahu. Tetapi yang pasti, pemerintah di negara-negara yang saya sebut itu memberikan dukungan yang penuh dan juga sangat bertanggung jawab terhadap pelaku franchisenya.

Namun, pemerintah bukan pihak yang harus disalahkan. Perkembangan franchise yang sangat lamban ini lebih oleh ulah pelakunya sendiri yang tidak sabar dan tekun menjadikan franchise setidaknya tuan di negaranya sendiri.

Kelemahan para pelaku usaha di Indonesia umumnya ada pada usaha membangun franchise dengan keunggulan yang kompetitif. Jika sudah bisa melakukan ini, pemerintah makin mudah mengembangkannya ke mancanegara. Singapura, Malaysia, Korea, Amerika, Thgailand, tidak akan menjadi pemain global franchising jika dukungan pemerintahnya tidak diimbangi oleh usaha para pelaku franchisenya dalam menciptakan keunggulan-keunggulan yang hebat di bisnis franchise mereka.

Anang Sukandar