Salah Kaprah dalam Memahami Bisnis Franchise. Apa Saja?

Salah Kaprah dalam Memahami Bisnis Franchise. Apa Saja?

Ada banyak salah kaprah dalam franchise  atau waralaba yang perlu diluruskan. Salah kaprah ini telah menimbulkan konflik-konflik yang seharusnya bisa dihindari, atau setidaknya diminimalkan. Dalam kesempatan ini saya mencoba menguraikan 7 salah kaprah yang banyak terjadi.

1. Waralaba itu menghasilkan passive income

Khusus untuk waralaba yang operated by franchisor (dikelola atau dijalankan oleh pewaralaba), mungkin pendapat ini benar. Namun, meski operated by franchisor, pewaralaba biasanya tidak memberikan jaminan keuntungan.

Beberapa pengecualian memang ada. Misal TCWA (Toko Cat Warna Abadi), dengan konsep kerja sama yang dikemas sebagai Imbal Hasil, dijalankan oleh pemilik merek, seorang investor memperoleh jaminan penghasilan minimum tertentu setiap tahunnya. Selain itu, saya juga pernah mendengar ada pewaralaba yang memberikan jaminan refund biaya royalti ditambah dengan kompensasi sebesar 1% di atas suku bunga deposito bank acuan yang disepakati bersama. Manuver seperti itu sah-sah saja, sebagai pemanis penawaran waralaba mereka. Meski demikian, penjaminan seperti itu bukan hal yang umum dilakukan.

2. Waralaba itu pasti untung

Waralaba adalah investasi bisnis. Jadi pasti ada resiko. Bila tidak menghendaki resiko, pilihannya adalah menyimpan uang di bank saja dalam bentuk tabungan atau deposito.

Salah kaprah bahwa “waralaba pasti untung” ini terus berlanjut, karena informasi dan penawaran waralaba di pameran selalu terlihat menarik dan manis didengar. Tak jarang investor baru menyadari adanya resiko rugi setelah bisnis waralabanya beroperasi dan mengalami kerugian.

Banyak investor yang terpikat oleh tampilan luar suatu merek atau bisnis yang diwaralabakan. Ketrampilan pewaralaba dalam membangun dan mengelola merek sering mengelabui investor. Membeli waralaba dengan merek yang mentereng, tanpa mempelajari dengan cermat fundamental bisnisnya, sama saja dengan membeli rumah yang dicat dengan rapi di bagian luar saja tapi tidak memeriksa bagian dalamnya yang mungkin saja seperti rumah hantu, penuh debu dan sarang laba-laba.

3. Waralaba itu mudah dijalankan

Tingkat kemudahan menjalankan bisnis waralaba tergantung jenis dan model bisnisnya. Sesederhana apa pun, tampaknya manajemen kepegawaian (SDM, sumber daya manusia) merupakan tantangan terbesar dan terberat yang akan dihadapi setiap terwaralaba.

Terwaralaba seharusnya terlibat aktif mengikuti pelatihan awal yang diselenggarakan oleh pewaralaba. Tidak sedikit terwaralaba yang mengabaikan hal penting ini. Di sisi lain, banyak pewaralaba yang kurang menuntut kewajiban terwaralaba untuk mengikuti pelatihan ini.

4. Pewaralaba bertanggung jawab menyediakan pegawai

Banyak terwaralaba yang “merasa dijanjikan” bahwa pewaralaba yang akan menyediakan pegawai. Kalau ada pegawai mengundurkan diri, maka pewaralaba bertanggung jawab mencarikan pegawai.

Seharusnya mencari pegawai adalah kewajiban terwaralaba. Pewaralaba hanya membantu, tapi tidak mungkin memberikan janji atau jaminan pasti bisa menemukan calon pegawai. Ketersediaan calon pegawai itu di luar kendali pewaralaba.

Kewajiban pewaralaba adalah mengajarkan cara menyeleksi dan melatih, atau memberikan support pelaksanaan menyeleksi dan melatih calon pegawai itu. Kewajiban terwaralaba adalah “mencari pegawai” dan “mengelola pegawai” dengan baik.

5. Pewaralaba bertanggungjawab meningkatkan sales terwaralaba

Meski tidak sepenuhnya keliru, pernyataan di atas tidak sepenuhnya benar. Pewaralaba bertanggung jawab meningkatkan “peluang” terjadinya penjualan (sales) melalu upaya-upaya atau kegiatan branding dan pemasaran (marketing). Kegiatan branding dan marketing yang baik akan meningkatkan peluang datangnya calon pelanggan, tapi penjualan baru akan terjadi ketika tim di level gerai menjalankan perannya dengan baik.

Keberhasilan meningkatkan penjualan adalah tanggung jawab masing-masing terwaralaba, melalui komitmen-komitmen menjaga standar kualitas produk dan layanan, kepuasan pelanggan dan kegiatan promosi lokal.

Dalam hal tertentu, kadang upaya pewaralaba masih kurang berhasil mendatangkan calon pelanggan ke gerai. Hal ini bisa diakibatkan karena suatu mal yang kurang aktif menyelenggarakan event, atau memang wilayah sekitar lokasi gerai memiliki kebiasaan tertentu yang unik, atau faktor lain seperti traffic (jumlah kendaraan atau orang yang lewat) yang kurang mendukung. Dalam hal ini memang pewaralaba diharapkan dapat memberikan support dengan mendatangkan timnya ke gerai untuk melihat cara-cara lain yang diperlukan khusus untuk kondisi gerai tersebut.

6. Merek terkenal berhak atas biaya awal waralaba yang tinggi

Salah kaprah ini dikarenakan pemahaman yang tumpang tindih dengan konsep “brand equity”. Biaya awal waralaba itu terkait dengan potensi keuntungan (di level gerai yang bersangkutan) yang “diambil di muka”. Brand equity itu terkait dengan potensi pengembangan yang tidak dibatasi di level satu gerai belaka. Itu sebabnya brand equity suatu merek bisa luar biasa tinggi nilainya.

Pewaralaba yang memasang biaya awal waralaba amat tinggi (dengan alasan mereknya terkenal), ibarat perangkap bagi dirinya sendiri, kalau ternyata angka yang ia tetapkan mengakibatkan terwaralaba tidak bisa mencapai balik modal, atau kinerja keuangan bisnis di gerai terwaralaba menjadi buruk ketika dikaitkan dengan biaya investasi yang dikeluarkan oleh terwaralaba tersebut.

Beberapa merek bisnis restoran misalnya, terkenal karena memiliki banyak gerai, atau karena gerainya terlihat ramai. Ketika dicermati lebih mendalam, ternyata ada yang tingkat labanya tidak terlalu tinggi. Akibatnya, ketika diwaralabakan dengan beban royalti dan biaya awal waralaba yang tinggi (atas nama keterkenalan mereknya), bisnis ini tidak mampu memberikan keuntungan yang layak bagi terwaralaba.

7. Waralaba untuk belajar bisnis

Salah kaprah yang satu ini memiliki dampak negatif yang mengganggu perkembangan bisnis waralaba. Beberapa terwaralaba mengira bahwa mereka berhak mengganti merek setelah jangka waktu perjanjian waralaba berakhir. Mereka menganggap sah-sah saja kalau mereka membeli waralaba untuk belajar bisnis, lalu menurunkan merek waralaba dan menggantinya dengan merek mereka sendiri.

Bila terwaralaba memang berencana hendak menggunakan merek sendiri, etikanya mereka tidak membeli waralaba. Ada jalan lain untuk tujuan tersebut: membayar konsultan bisnis tertentu, misalnya konsultan restoran bagi yang hendak mendirikan bisnis restoran, atau konsultan retail bagi yang hendak mendirikan bisnis minimarket.

Beberapa pemasok mesin juga sering menyediakan jasa konsultasi seperti ini, misal pemasok mesin laundry memberikan pelatihan dan konsultasi untuk mendirikan bisnis laundry, atau pemasok bahan makanan seperti coklat dan tepung menyediakan jasa pelatihan dan konsultasi untuk mendirikan bisnis roti dan kue.

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting – Indonesia.

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com