Salah Kaprah Balik Modal

Karena masih banyak informasi mengenai balik modal yang salah kaprah, saya memutuskan untuk mengulas ini dengan beberapa contoh riil.

Bukan dari Omset

Meski tidak masuk akal, saya pernah menemukan penawaran peluang bisnis kemitraan (atau business opportunity), yang pada dasarnya menggunakan pola waralaba, yang membuat klaim balik modal berdasarkan Omset Penjualan. Kira-kira demikian klaim tersebut:

Paket kemitraan kami adalah Rp 300 juta. Omset penjualan rata-rata per bulan adalah Rp 100-200 juta sehingga balik modal diperkirakan hanya memerlukan waktu 1,5 hingga 3 bulan saja.

Bukan dari Gross Profit

Sedikit lebih baik (meski salah juga) dibandingkan dengan yang menghitung balik modal dari omset tersebut, ada pihak-pihak yang menghitung balik modal dari gross profit. Di situs internet saya menemukan klaim yang kurang lebih (sadur ulang) sebagai berikut:

Minuman kami bisa dijual dengan harga Rp 5.000,- per gelas dan biaya bahan-bahannya, termasuk gelas, sedotan, dan sebagainya hanya Rp 2.800,-. Dengan demikian keuntungan setiap gelasnya adalah Rp 2.200,-. Setiap hari bisa terjual minimal 50 gelas, artinya keuntungan per hari adalah Rp 110.000,- sehingga per bulan menjadi Rp 3.300.000,-  keuntungannya. Paket kemitraan kami hanya Rp 10 juta. Dengan demikian investasi ini balik modal dalam waktu hanya 3-4 bulan.

Bukan dari Paket Waralaba

Pernyataan bahwa balik modal tidak bisa dihitung dari paket waralaba (atau paket kemitraan) ini tidak berlaku bila paket waralabanya sudah all-in dan komprehensif.

Masalahnya, tidak sedikit paket waralaba, atau paket kemitraan, yang belum lengkap untuk menjalankan suatu usaha. Paket kemitraan burger misalnya, mungkin saja belum termasuk freezer untuk menyimpan daging beku. Memang bisa saja menggunakan kulkas di rumah, kalau tidak terlalu banyak stok daging beku-nya. Ini berarti biaya operasional berupa biaya listrik ada yang nebeng di pengeluaran rumah sang investor/mitra, bukan?

Paket kemitraan bubble tea kadang belum termasuk blender, termos es, atau beberapa peralatan lain yang mungkin tidak termasuk dalam paket waralaba tersebut.

Dalam hal ini untuk perhitungan balik modal, seyogyanya kita memasukkan barang-barang modal dan biaya-biaya tersebut.

Bukan dari Total Investasi

Beberapa orang yang lain mungkin menilai balik modal dari sisi arus kas, di mana akumulasi keuntungan sebelum pajak menjadi sama dengan Total Investasi. Beberapa lainnya menghitung dari keuntungan setelah dipotong pajak tahunan.

Klaim balik modal Pemberi Waralaba “biasanya” bukan dihitung dari Total Investasi, melainkan dari Nilai Aset (yang bisa didepresiasikan atau diamortisasikan) dan biaya-biaya pera operasional atau sebelum opening, seperti perijinan dan pelatihan awal. Jadi yang dikeluarkan (tidak dimasukkan ke dalam perhitungan balik modal) adalah unsur-unsur yang akan muncul sebagai biaya Harga Pokok Perjualan dan Biaya Operasional Rutin. Dalam hal ini biaya sewa di-prorata-kan ke dalam biaya operasional rutin, bukan diamortisasikan.

Yang dimaksud dengan balik modal di sini adalah saat akumulasi EBITDA (Earning Before Interest, Tax, Depreciation Armotization) alias keuntungan bersih sebelum dipotong bunga bank, pajak tahunan, depresiasi dan amortisasi mencapai atau menjadi sama dengan Nilai Aset ditambah dengan biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum opening.

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting – Indonesia.

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com