Resiko Membeli Waralaba

Resiko Membeli Waralaba

Low Risk High Profit. Itu yang dicari semua orang. Adakah yang benar-benar demikian?

Mungkin saja ada, tapi di balik batu low risk itu ada udang high risk yang perlu anda ketahui: “penipuan”, atau saya sederhanakan “informasi yang tidak lengkap”.

Pakem yang lebih bisa dipercaya adalah “High Profit, High Risk”. Setiap peluang keuntungan yang tinggi biasanya memiliki resiko yang tinggi pula. Catatan: jangan dibalik menjadi high risk high profit, karena resiko tinggi tidak selalu menjanjikan keuntungan tinggi.

Baca Juga : Harus Cermat Membeli Paket Waralaba

Terganggunya citra merek

Gangguan terhadap citra merek bisa terjadi kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja. Oleh karena itu manajemen krisis harus sudah disiapkan oleh pewaralaba.

Salah penanganan keluhan pelanggan di satu outlet, kemudian tersebar di internet atau media lainnya, jelas akan mengganggu citra pada semua gerai dengan merek yang sama. Meski belum ada data riil terkait efektivitas dan tingkat gangguan akibat berita negatif itu, kita harus serius mengelola merek kita.

Terganggunya citra merek bukan saja dalam konteks pelanggan, melainkan dalam konteks pasokan produk atau bahan baku juga bisa terjadi.

Misal satu pemasok menangani lima gerai terwaralaba yang berbeda pemiliknya, kemudian satu terwaralaba berperilaku buruk menunda-nunda pembayaran tagihan, bukan tidak mungkin keempat gerai yang lain terkena imbasnya. Pembayaran yang semula dilakukan satu bulan setelah pengiriman, bisa saja tiba-tiba ditagih di muka karena kekuatiran pemasok bahwa cepat atau lambat semua terwaralaba bisnis tersebut akan mengalami kesulitan arus kas (padahal tidak demikian).

Resiko supply barang

Beberapa calon terwaralaba yang cermat membaca perjanjian biasanya menanyakan kepada saya, mengapa tidak tercantum sanksi kalau terjadi keterlambatan pengiriman produk? Waralaba restoran misalnya, karena bumbu utama biasanya wajib dibeli dari pewaralaba, bagaimana kalau terjadi keterlambatan pengiriman?

Ini pertanyaan yang sulit dijawab, terutama faktor penyebab keterlambatan bisa bermacam-macam. Karena tidak mungkin ada maksud dan kesengajaan untuk melakukan hal seperti itu, maka biasanya saya bertanya kembali, sanksi seperti apa yang hendak dimasukkan? Denda satu hari potensi profit untuk setiap keterlambatan satu hari?

Lebih lanjut saya menanyakan pula, bagaimana kalau keterlambatan karena faktor perusahaan ekspedisi, atau ada faktor lain di luar kendali seperti keterlambatan produksi atau pengiriman akibat pemogokan karyawan?

Dalam hal ini saya mempertanyakan adanya kepercayaan terwaralaba kepada pewaralaba bahwa pewaralaba akan mempertaruhkan nama baik mereknya, sehingga tidak mungkin membiarkan terjadinya keterlambatan seperti ini. Biasanya masalah supply barang ini hanya mencantumkan adanya ketentuan jangka waktu antara pemesanan barang dengan pengiriman sudah dibuat seaman mungkin, misal pemesanan harus dilakukan dua minggu sebelum jadwal barang diharapkan tiba di tempat.

Pernah mau makan di suatu restoran, bahkan waralaba terkenal sekalipun, kemudian beberapa menu yang kita hendak pesan ternyata tidak tersedia? Kalau terwaralaba ngotot melakukan perhitungan terinci terkait masalah keterlambatan supply barang, maka pewaralaba akan rugi waktu dan tenaga. Kalau tidak percaya dengan pewaralaba, lebih baik jangan jadi terwaralaba. Kembangkan bisnis dengan merek sendiri.

Baca Juga : 6 Alasan Membeli Franchise

Pewaralaba berganti kepemilikan

Kalau terwaralaba berganti kepemilikan, biasanya ada klausul dalam perjanjian yang mengharuskan pembelinya disetujui oleh pewaralaba. Tapi kalau pewaralaba hendak menjual usahanya kepada pihak lain, terwaralaba tidak punya hak untuk mencegah atau tidak menyetujui pembelinya.

Terlihat tidak fair, tapi kenyataannya memang demikian. Hal ini dikarenakan pemilik merek adalah pewaralaba. Terwaralaba hanya mengikat perjanjian dalam jangka waktu tertentu saja terkait penggunaan merek dan sistem bisnis merek tersebut.

Berganti kepemilikan kadang mengakibatkan perubahan gaya manajemen. Yang lebih menyulitkan adalah apabila muncul perbedaan visi dan pemahaman mengenai waralaba dari pemilik lama dengan pemilik baru. Ini salah satu resiko yang mau tidak mau harus siap untuk dihadapi kalau benar-benar terjadi.

Pewaralaba berhenti beroperasi

Hal yang jarang terjadi tapi bisa terjadi adalah, pewaralaba berhenti beroperasi. Bila hal ini terjadi, salah satu keruwetan yang bisa terjadi adalah dalam hal hak penggunaan merek. Kadang bisa saja terjadi beberapa atau semua terwaralaba bergabung mengambil-alih hak atas merek tersebut secara resmi. Pengambilalihan ini harus dilakukan dengan cermat dari sisi legal formalnya.

Resiko operasional

Secara umum, bagi terwaralaba yang dituntut untuk terlibat dalam kegiatan operasional sehari-hari, sebenarnya resiko yang lebih mungkin terjadi adalah kerumitan operasional harian. Mengelola pegawai setiap hari dapat disebut sebagai “resiko” (mungkin lebih tepat disebut konsekuensi), karena detailnya sangat merepotkan. Juga, terwaralaba harus segera mencari pengganti kalau ada pegawai yang mengundurkan diri.

Seringkali terwaralaba melemparkan kembali urusan mencari pegawai kepada pewaralaba, dan tak jarang pewaralaba tidak berhasil mendapatkan penggantinya. Beberapa bisnis waralaba tutup bukan karena peluang dan kinerja bisnisnya, melainkan hanya dikarenakan terwaralaba tidak cukup tekun mengelola pegawai, termasuk mencari pengganti kala ada yang mengundurkan diri.

Banyak investor dengan mudah (cepat) membeli BO gerobak-chise, yang umumnya memerlukan modal kecil. Ketika pegawai berhenti, biasanya investor memilih menghentikan pula usahanya. Gerobak masuk garasi. Modal pun menguap begitu saja.

Baca Juga : 5 Langkah Investigasi Sebelum Membeli Franchise

Resiko operasional tidak hanya terjadi pada usaha bermodal kecil. Tidak sedikit terwaralaba bisnis makanan (restoran) yang terkaget-kaget ketika menjalani operasional sehari-hari. Rutinitas belanja setiap hari, wajib kerja di akhir minggu (Sabtu & Minggu) serta hari libur … perubahan ritme kerja seperti itu tidak terbayangkan sebelumnya. Bahkan untuk restoran yang mempekerjakan manager, kehadiran pemilik biasanya mempengaruhi moral dan semangat kerja tim. Ironisnya, resiko seperti ini tak pernah dikomunikasikan secara terbuka di depan.

Bila anda jadi ragu-ragu melangkah jadi terwaralaba, maka saya perlu jelaskan bahwa peluang hasil usaha dari waralaba jauh lebih tinggi daripada membiarkan dana anda disimpan dalam bentuk deposito yang tergerus inflasi. Tapi untuk meraih peluang keuntungan itu memang dibutuhkan kerja keras dan pemahaman untuk menghadapi resiko-resikonya.

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com