Pemilik Wong Solo Group Berharap Pemerintah Mengkaji PSBB Agar Usaha Kuliner Tetap Hidup

Aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang selama ini ditetapkan pemerintah rupanya membebani para pengusaha kuliner. Usaha kuliner khususnya yang mengusung sajian tradisional merasa kebijakan tersebut memberatkan, karena para pengunjung tidak dibolehkan makan di tempat yang memang menjadi pola usaha kuliner tradisional.

Seharusnya, kata Puspo Wardoyo, Pemilik Wong Solo Group, Pemerintah membiarkan pengunjung makan di tempat dengan beberapa catatan. Misalnya satu meja yang tadinya untuk 4 orang menjadi 2 orang saja, dengan jarak duduk berseberangan dari sudut meja makan, dan catatan-catatan lainnya.

Dengan demikian, aturan menjaga jarak pun bisa terlaksana di rumah makan yang selama ini menyediakan tempat. “Namun sekarang ini tidak. Rumah makan selama ini diberi kesempatan oleh Pemerintah untuk online dan take away saja. Kita rumah makan tradisional tidak terbiasa seperti itu. Harusnya pemerintah mengedukasi supaya rumah makan dibuka dengan catatan-catatan kami pun siap,” ujarnya.    

Dengan kondisi saat ini, kata Puspo, usaha kuliner pun sangat terpojokan dan mengalami banyak kerugian. Maka kiat bertahan adalah mengurangi karyawan 70% sekarang ini, mungkin besok 80%. “Kita tunggu sampai bulan depan, kalau berlanjut juga bisa jadi akan kita tutup. Kami mewakili pengusaha kuliner Indonesia, ingin menyampaikan bahwa kondisi saat ini membuat kami benar-benar terpojok,” tandasnya.

Puspo mengeluhkan, peraturan PSBB yang selama ini berjalan masih berat sepihak. Rumah makan yang selama ini punya peran sebagai usaha kerakyatan tidak membolehkan pengunjungnya makan di tempat, sementara masih banyak penjual sembako, supermarket dan minimarket boleh pengunjungnya berjubel-jubel.  

Sekali lagi, tegas Puspo, Pemerintah harus mengevaluasi kembali aturan PSBB, yang selama ini mengatur untuk menjaga jarak. “Harus ada edukasi untuk kuliner rumah makan agar dibiarkan makan di tempat dengan tetap menjaga jarak,” pintanya.  

Apabila kondisi seperti ini terus berlanjut, lanjut Puspo, rumah makan akan hancur. Apabila rumah makan hancur efeknya supplier ayam, supplier beras, supplier bumbu dan supplier lainnya juga akan kena imbasnya. “Kalau ini berlanjut akan menjadi beban sosial, banyak pengangguran dan sebagainya. Karena sampai kapan akan berlalu. Karena jangan sampai orang mati buka karena takut corona tapi takut kelaparan,” jelasnya.

“Kami menghimbau Pemerintah kalau SPBB harusnya boleh makan di tempat dengan catatan-catatan seperti mengatur jarak tempat duduk dan lain sebagainya. Agar usaha kuliner seperti kami tidak terkantung-kantung, sehingga menjadi keramaian yang sepi. Orang masih ramai di mana-mana tapi transaksi sepi. Karena pada bingung semua,” sambungnya.

Kepada para pemangku di pemerintahan, Puspo meminta untuk mengevaluasi kembali kebijakan tersebut. Kalau semua rumah makan tutup akan hancur semua, karena rumah makan ini memegang peran penting dalam menghidupkan usaha kerakyatan.

“Kondisi seperti ini nanggung banget. Kami hanya bisa bertahan satu bulan ini saja tidak tahu bulan berikutnya. Pemerintah harus mengundang para pengusaha kuliner terkiat kondisi ini. Harusnya pengunjung boleh makan dengan jarak tertentu. Di negara-negara lain masih boleh makan,” pungkasnya.

Zaziri