Merek Siapa ?

Brand Merek Siapa ?

Judul ini dipilih bukan karena berita pemilik merek Pierre Cardin dari Perancis dinyatakan kalah oleh Mahkamah Agung. Judul ini dipilih karena praktek waralaba, mungkin juga BO dan Kemitraan, yang sedang terjadi tampaknya masih mengabaikan masalah siapa pemilik merek yang diwaralabakan, atau dilisensikan.

Beberapa merek yang diwaralabakan mula-mula didaftarkan sebagai milik dari perorangan. Merek “K-24” misalnya, semula didaftarkan atas nama pendirinya, dokter Gideon Hartono. Setelah diwaralabakan dengan menjadikan suatu badan hukum Perseroan Terbatas sebagai Pemberi Waralaba, maka kemudian merek ini dialihkan kepemilikannya kepada PT K-24 Indonesia. Sebelum pengalihan dilakukan, Perjanjian Waralabanya dilengkappi dengan Surat Pernyataan dari dokter Gideon bahwa beliau memberikan hak kepada PT tersebut untuk mengembangkan jaringan apotek dengan menggunakan merek tersebut.

Pemberian Lisensi & PPh atas Royalti

Bagaimana kalau tidak dialihkan, tapi dibuatkan Perjanjian Lisensi saja? Bisa saja dilakukan pemberian lisensi dari perorangan kepada PT yang menjadi Pemberi Waralaba. Dalam hal ini harus diantisipasi konsekuensi perpajakannya.

Biasanya pemberian lisensi diikuti dengan kewajiban membayar royalti dari Penerima Lisensi kepada Pemberi Lisensi. Jadi PT akan membayar Lisensi kepada perorangan yang menjadi pemilik merek tersebut. Bila ini terjadi, maka PT akan melakukan pemotongan PPh atas royalti sebesar 15%. Dan nanti Penerima Waralaba akan melakukan pemotongan PPh pula sebesar 15% atas royalti yang dibayarkan kepada Pemberi Waralaba.

Beda PT

Kejadian perbedaan antara pemilik merek dan Pemberi Waralaba bisa terjadi dalam bentuk beda PT. Artinya pemilik mereknya memang sudah PT, tapi ketika diwaralabakan ternyata PT yang menjadi Pemberi Waralabanya berbeda dengan PT pemilik merek.

Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Biasanya ini terjadi pada merek yang sudah cukup lama dan sudah mapan. Pendiri perusahaan sudah mantap untuk menjadikan perusahaan sebagai pemilik merek. Dalam perkembangannya, ketika pemilik perusahaan kemudian hendak mewaralabakan bisnisnya, ia tidak ingin kedudukan perusahaan yang mengoperasikan gerai tercampur baur dengan perusahaan yang menjadi Pemberi Waralaba. Ia akan mendirikan perusahaan (biasanya disebut sebagai perusahaan terafiliasi) untuk menjadi Pemberi Waralaba. Tentu ada bermacam alasan, salah satunya adalah pertimbangan legal.

Meski demikian, perbedaan antara pemilik merek dan Pemberi Waralaba tentu akan membingungkan kedudukan PT yang menjadi Pemberi Waralaba apabila mereknya dipertahankan menjadi milik PT yang mengoperasikan bisnis tersebut. Sekali lagi, hal ini bisa disiasati dengan Surat Pernyataan, atau pengalihan kepemilikan merek.

Tidak Mengalihkan Kepemilikan Merek

Beberapa Pemberi Waralaba (dalam kapasitas sebagai pemilik merek) memilih untuk tidak mengalihkan kepemilikan ke PT yang menjadi Pemberi Waralaba. Alasannya, karena ingin mengamankan kepemilikannya terhadap merek tersebut. Salah satu alasan terkait “mengamankan” ini adalah apabila terjadi tuntutan hukum kepada Pemberi Waralaba, maka kepemilikan atas merek tidak terdampak secara langsung.

Alasan lainnya, bila kepemilikan mereknya dipertahankan milik perorangan, adalah pertimbangan apabila terjadi PT ini bubar, jika pemegang sahamnya banyak orang, maka kepemilikan mereknya menjadi tidak jelas. Oleh karena itu pemilik merek berkehendak mempertahankan kepemilikan mereknya sebagai perorangan.

Tentu saja, keputusan untuk mengalihkan atau tidak mengalihkan merupakan hak pemilik merek tersebut. Penerima Waralaba tidak bisa menuntut harus dilakukan pengalihan kepemilikan merek.

Masalah Waris

Bila kepemilikan merek tetap dipegang oleh perorangan, harus dipahami bahwa apabila pemilik merek meninggal dunia, maka hukum waris berlaku. Kepemilikan merek menjadi “milik bersama” para ahli waris, atau menurut isi surat wasiat terkait pewarisan kepemilikan atas merek tersebut.

Jadi akan ada prosedur yang harus dilalui oleh para ahli waris, seperti mengurus surat keterangan waris, dan sebagainya, untuk kemudian mengurus pengalihan kepemilikan atas merek tersebut ke Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Republik Indonesia.

Semoga ulasan ini membantu para pembaca untuk memahami hal terkait kepemilikan merek dan pewralabaan merek tersebut, khususnya apabila terjadi perbedaan entitas antara pemilik merek dan Pemberi Waralaba. 

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting – Indonesia.

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com