Mengukur Efektivitas Pelatihan dengan 4 Level

Mengukur Efektivitas Pelatihan dengan 4 Level

Pentingnya mengukur training yang dibuat di bisnis franchise anda. Tidak sedikit perusahaan hanya melakukan analisa evaluasi pada tahap level tertentu saja. Apa saja 4 level itu?

Tak terasa akhir tahun sudah datang dalam hitungan jari. Waktu yang berjalan begitu cepat membuat kita bergegas untuk mempersiapkan kedatangan tahun yang akan tiba. Walaupun dalam kondisi ekonomi yang lesu, tetap harus disikapi dengan Go Fight, bukan Go Flight; dalam arti  tetap sengit bertarung memastikan bahwa kita “one step ahead than competitor”, dengan tetap berusaha memberikan kepuasan maksimal kepada customer yang kita bidik.

Salah satu usaha yang selalu menjadi agenda di akhir tahun termasuk juga perusahaan yang bergerak di bidang franchise adalah merencanakan pemberian training kepada karyawan, baik untuk karyawan tertentu dalam rangka peningkatan kompetensi tertentu baik hardskills (kemampuan teknis sesuai dengan bidang yang ditekuni)maupun softskills (problem solving, negotiation skills, komunikasi, kepemimpinan), ataupun untuk karyawan secara keseluruhan dengan tujuan lebih umum, baik kearah team building, dare to change, ataupun peningkatan motivasi kerja.

Training atau pelatihan diyakini sebagai investasi yang sangat perlu untuk perkembangan perusahaan. Demikian juga dalam bisnis franchise. Dinamika perusahaan yang bergerak cepat mengikuti perkembangan zaman, menuntut karyawan yang berada di dalamnya untuk juga bersama-sama berlari bergerak cepat untuk belajar memahami hal-hal yang baru, belajar meningkatkan kompetensi, belajar untuk bekerjasama dengan rekan-rekannya hingga belajar untuk mengenal customer serta memberikan pelayanan yang memenuhi harapan dan kebutuhannya.

Perusahaan akan lebih fokus kepada hasil dari pelatihan, melihat apakah pelatihan tersebut bermanfaat membawa perubahan bagi kemajuan perusahaan. Kadang kita sering melihat ada perusahaan yang getol untuk mengirimkan karyawannya mengikuti pelatihan di luar kantor, ada juga perusahaan yang pelit mengirimkan karyawannya mengikuti pelatihan.

Tetapi secara umum, jika perusahaan mengetahui dengan pasti bahwa training yang diberikan akan membawa kebaikan untuk perusahaan, tidak hanya sekedar membuat karyawannya menjadi bertambah pintar saja, penulis yakin perusahaan akan lebih mendorong diadakan pelatihan, baik internal maupun eksternal.

Dalam bisnis franchise, setiap frachisee akan selalu mendapatkan training di awal kerjasama dari franchisornya, demikian juga jika franchisor mengeluarkan produk-produk baru, pelatihan kearah teknis dibutuhkan untuk memastikan bahwa produk baru tsb dapat dioperasikan oleh pihak franchisee dengan baik dan benar. Tetapi pelatihan non teknis, dalam arti kearah softskills, sering diserahkan kepada pihak franchisee masing masing. Disiniah dibutuhkan visi dari setiap pengusaha, termasuk franchisee dalam melihat karyawannya apakah sebagai asset human capital atau sebagai cost center semata.

Untuk itu dibutuhkan metodologi untuk bahan evaluasi untuk mengukur efektifitas pelatihan yang dilakukan. Menurut KirkPatrick, professor dari University of Wisconsin ada 4 level yang harus di evaluasi untuk menentukan efektivitas pelatihan. Keempat level yang dimaksud adalah :

  1. Level “reaction” : apakah yang dirasakan dan dipikirkan oleh peserta pelatihan sesudah mengikuti pelatihan tsb?.
  2. Level “learning” : bagaimana perkembangan dari peserta tsb sesudah mendapatkan pelatihan?. Apakah menjadi lebih pintar, apakah menjadi lebih trampil dll?
  3. Level “behavior “ : apakah terjadi perubahan sikap ( menjadi lebih baik) sesudah mengikuti pelatihan. Apakah sesudah mengikuti pelatihan, peserta kemudian kembali ke cara dan kebiasaan lama?
  4. Level “ result” : apakah ada dampak pelatihan terhadap kinerja perusahaan?

Tidak sedikit perusahaan hanya melakukan analisa evaluasi pada tahap 1 atau 2 saja, cukup mengetahui peserta suka atau tidaknya terhadap materi pelatihan maupun peserta mengerti atau tidak terhadap materi yang diberikan. Biasanya pada level “reaction “ dilakukan check list sesudah pelatihan untuk menanyakan respon peserta terhadap materi, trainer, metode penyampaian dll, sedangkan pada level “ learning dilakukan evaluasi “pre test dan “post test” untuk melihat apakah ada perbedaan ataupun penambahan pengetahuan sesudah mengikuti pelatihan.  

Ketika perusahaan hanya melakukan evaluasi sebatas level 1 dan 2, maka tak jarang pelatihan yang sebenarnya tidak efektif tsb namun tetap akan diberikan pelatihan yang sama di tahun depan. Ini menjadi pemborosan biaya yang sia sia. Hal ini bisa saja terjadi terus menerus tanpa pernah melakukan pengukuran lebih jauh dari level 2.

Sebenarnya evaluasi pada level “behavior” dapat dilakukan dengan melakukan observasi setelah pelatihan pada keseharian peserta dalam menjalankan tugasnya. Bisa juga dengan melakukan wawancara yang dilakukan oleh atasannya langsung. Sementara pada level “result’ dilakukan evaluasi terhadap perubahan kinerja perusahaan, seperti ROI sebelum dan sesudah pelatihan, nilai omzet sebelum dan sesudah pelatihan.

Ir Mirawati Purnama Msi