Mengapa ‘Franchiseable Business’ Tak Selalu Sukses Difranchisekan?

Suatu ketika dalam sebuah diskusi kecil, seorang franchisor melontarkan pertanyaan menyelidik kepada saya begini: “Benarkah franchisor harus hidup dari royalti?”. Saya tahu franchisor ini mengutip prinsip terpenting yang selalu saya sebut di berbagai kesempatan saya bicara tentang prinsip franchise.

Saya katakan pertanyaan itu menyelidik, karena pertanyaan ini seolah mengisyaratkan rasa tidak percaya atau ketidaksesuaian dengan kenyataan yang dialaminya. Terus bagaimana saya menjawabnya? Saya jawab pertanyaan itu dengan pernyataan yang tak kalah membingungkan begini: “Tidak semua bisnis yang bisa difranchisekan bisa difranchisekan”.  Saya sendiri bingung dengan jawaban saya, dan karena kami dalam kelompok kecil itu semua bingung, diskusi malahan menjadi semakin hangat.

Kalau kita melihat ke belakang apa yang terjadi dengan bisnis franchise di negeri ini selama 10 tahun terakhir, ada gelombang-gelombang naik turunnya pendekar-pendekar franchise lokal. Ada masa-masa franchise lokal tumbuh bak jamur di musim hujan. Saya melihat setidaknya ada tiga gelombang, yaitu era sampai tahun 2003, periode 2007, dan terakhir periode 2010 hingga kini. Pada masa itu, franchise baru bermunculan mendominasi media-media bisnis terkait dan pameran-pameran franchise di Indonesia.

Pengamatan ini sangat subyektif karena memang belum ada data resmi yang bisa dijadikan pegangan tentang daftar franchise baru di setiap periode. Ada gejala lain yang selalu terjadi berbarengan dengan muncul gelombang franchise baru, yaitu gelombang hilangnya bisnis-bisnis franchise yang lahir pada periode gelombang sebelumnya. Kita sama-sama melihat ada franchise yang hilang dari peredaran sebelum masa franchise berakhir.

Apa istimewanya hal ini, bukankah setiap bisnis bisa saja naik dan turun? Dalam bisnis franchise, kalau bisnis itu mati setelah balik modal dan menghasilkan keuntungan, bukankah tidak perlu dipermasalahkan? Pertanyaan seperti ini juga pernah hinggap dalam pikiran saya. Tidak ada yang istimewa dari naik turunnya sebuah bisnis, sebuah peristiwa alami.

Tetapi untuk kasus franchise, saya memandang ada dua alasan mengapa bisnis hal seperti ini harus dihindari. Pertama karena franchise mensyaratkan ikatan minimal selama 5 tahun. Jadi selama periode tersebut, seharusnya franchisor menjamin bisnis yang difranchisekan akan tetap relevan selama 5 tahun ke depan. Kedua, seorang franchisor tentu berharap outlet-outlet bisnisnya akan berjalan terus dan diperpanjang oleh semua franchisee. Jadi apabila banyak outlet franchise yang tidak diperpanjang, bahkan tutup ditutup sebelum masa franchisenya berakhir, dapat dipandang sebagai hal yang mencemaskan.

Bagaimana mencemaskannya, karena apabila banyak outlet yang tutup atau tidak diperpanjang, maka jumlah outlet akan menurun terus sehingga tidak menarik bagi calon franchisee baru. Dan ketika ini terjadi, tidak hanya investor yang tidak tertarik dengan bisnis ini, tetapi konsumen dari outlet-outlet yang masih beroperasi akan mulai mencari outlet-outlet bisnis pengganti yang dipandang lebih memenuhi kebutuhan dan emosinya. Hingga pada satu keadaan, jumlah outlet bisnisnya akan benar-benar habis. Pada saat itulah bisnis franchise ini bisa dikatakan benar=benar berhenti. Dan saya percaya kondisi seperti ini, tak satu orangpun franchisor yang menginginkannya.

Selanjutnya, bicara tentang hal-hal yang dapat menyebabkan bisnis franchise berhenti di tengah jalan, saya mencatat setidaknya ada lima hal. Satu dari penyebab ini akan menjadi bahasan saya dalam tulisan ini yaitu tentang skala bisnis. Ada sementara orang yang beranggapan bahwa franchise dapat diterapkan tanpa memperhitungkan skala bisnisnya.

Baik bisnis berskala omzet  ratusan ribu rupiah sampai dengan puluhan juta rupiah per hari. Mungkin itu bisa benar apabila pertimbangannya berhenti pada profitabilitas outlet franchise saja. Untuk bisa menguntungkan dan memuaskan franchisee, outlet cukup mampu mendapatkan keuntungan bersih yang bisa mengembalikan modalnya. Tetapi kalau pertimbangan sukses diteruskan pada tingkat franchisor, perlu dimasukkan pertimbangan skala bisnis. Ketika pertimbangan sukses diterapkan terhadap operasi seluruh jaringan outlet franchise, maka ternyata franchise tidak bisa diterapkan pada setiap skala bisnis. Ada skala minimal bisnis yang memungkinkan untuk bisa difranchisekan dan franchisor sukses menjalankan operasi bisnis tersebut.

Bagaimana saya bisa sampai pada kesimpulan ini? Jawabannya terkait dengan pertanyaan teman franchisor tadi, ‘franchisor harus hidup dari royalti’. Ada dua realitas yang pasti kita hadapi, pertama pertumbuhan jumlah outlet adalah terbatas, dan kedua kemampuan orang mengerjakan sesuatu adalah terbatas.

Realitas pertama, mengisyaratkan bahwa saat di mana tidak ada pemasukan franchise fee, organisasi franchisor harus mampu tetap hidup dari pendapatan royalti dan pendapatan lain yang terkait dengan operasi bisnis outlet semisal margin penjualan bahan baku. Realitas kedua mengisyaratkan bahwa ukuran organisasi franchisor harus tumbuh proporsional terhadap pertumbuhan jumlah outlet, karena bisnis franchise hanya akan hidup dan tumbuh apabila franchisor menjalankan fungsi dukungan manajemen secara optimal dan profesional.

Untuk menjamin semua fungsinya bekerja secara optimal dalam menjalankan dukungan manajemen terhadap jaringan outletnya, organisasi franchise memiliki skala minimal yang diukur dari jumlah personel dan infrastruktur pendukungnya. Dalam ukuran minimal tersebut, ada batas maksimal jumlah outlet dan wilayah operasional yang mampu dijangkau. Apabila diperluas wilayahnya atau ditambah jumlah outlet yang dikelola, akibat langsung adalah menurunnya kualitas dukungan, dan lebih lanjut akan menurunkan indeks kepuasan franchisee. Ini yang sangat membahayakan kelangsungan bisnis franchise. Biaya operasional minimal dibutuhkan oleh organisasi tersebut agar kegiatannya berjalan secara optimal.

Biaya operasional minimal dibagi dengan jumlah maksimal outlet yang bisa dikelola adalah nilai royalti minimal yang harus diterima oleh franchisor. Kita ketahui bahwa royalti dihitung sebagai persentase dari omzet outlet yang bersangkutan, maka nilai omzet yang menghasilkan jumlah royalti minimal tersebut adalah skala bisnis minimal agar bisnis tersebut berpeluang sukses ketika difranchisekan.

Sebagai contoh, seorang franchisor membutuhkan biaya operasional minimal Rp. 25 juta setiap bulan dan mampu mengelola maksimal 25 outlet, maka nilai royalti minimal yang harus diperoleh dari outlet adalah Rp. 1 juta per bulan. Apabila persentase royalti bisnis tersebut 5%, maka bisnis outlet tersebut harus mampu menghasilkan omzet sebesar Rp. 20 juta per bulan. Inilah skala bisnis minimalnya.

Bukankah kekurangan tersebut bisa ditutup dengan menambah jumlah outlet sehingga penerimaan royalti dapat mencapai Rp. 25 juta per bulan? Jawabannya ‘tidak’, karena ketika jumlah outlet ditambah, maka organisasinya tidak bisa memberikan dukungan optimal dan akibatnya pendapatan oulet akan berkurang dan jumlah royalti juga akan berkurang.

Kalau ukuran organisasi diperbesar, artinya besar biaya operasionalnya juga akan meningkat. Jadi apabila jumlah royalti tidak mencapai nilai minimal, maka jumlah royalti yang dikumpulkan tidak akan mampu mengejar kekurangan biaya operasional yang juga akan bertambah terus seiring dengan pertumbuhan jumlah outlet. Kita bisa melihat  banyak bisnis franchise yang tidak justru hancur ketika jumlah outletnya banyak sebagian besar adalah mereka yang skala bisnisnya kecil.

Persoalan selanjutnya, bagaimana bisa meningkatkan omzet sampai Rp. 20 juta per bulan apabila bisnis tersebut bentuknya adalah gerobak bakso, yang dengan omzet Rp. 300 ribu saja sudah sangat menguntungkan? Di sinilah dapat saya katakan bahwa tidak semua skala bisnis bisa sukses ketika difranchisekan.

Untuk meningkatkan skala bisnis ke level yang diinginkan tidak cukup hanya dengan mendorong penjualan dengan berbagai strategi. Diperlukan perubahan yang mendasar yaitu dengan mengubah konsep bisnisnya. Ketika konsepnya diubah dengan skala yang lebih besar, maka potensi pendapatan meningkat dan jumlah royalti yang diperoleh juga meningkat sehingga mampu memenuhi biaya operasional organisasi.

Jadi, kalau disimpulkan bisnis yang terlalu kecil skalanya tidak bisa sukses difranchisekan bagaimana dengan bisnis-bisnis gerobak yang saat ini mendominasi pasar franchise lokal dengan sebutan Business Opportunity (BO)? Saran saya jalankan bisnis itu murni sebagai sistem distribusi, bukan franchise. Sebagai sistem distribusi, manajemen dan sebagainya menjadi berbeda, harus mengikuti kaidah dan norma-norma yang berlaku pada sistem bisnis distribusi, bisa lebih mudah maupun lebih sulit, sangat tergantung bisnisnya. Dengan demikian, bisnis ini akan dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan keuntungan. Kalau pemilik bisnis tersebut masih ingin memiliki bisnis franchise, baru rancang konsep bisnis baru yang lebih sesuai untuk difranchisekan.

Semoga bermanfaat.

Bije Widjajanto

Founder & Senior Consultant Ben WarG Consulting