Memulai dari Kondisi Sulit Wanita Ini Sukses Mendirikan Grup Bisnis di Sektor F&B

Memulai dari Kondisi Sulit Wanita Ini Sukses Berbisnis Minuman dan Kuliner

Memulai bisnis dari kondisi sulit, srikandi ini sukses mengembangkan jaringan bisnis minuman merek CAMCAW. Bisnisnya pun menjelma menjadi grup bisnis minuman yang memiliki beberapa merek yang sukses mengembangan cabangnya di berbagai daerah.

Sebut saja Peebee, Hei Nuomi, Kokoa, Doger Jeger, Mie Instand, Sahang Spesial Masakan Borneo, Pempek Padmasari dan beberapa merek lainnya. CAMCAW sendiri telah dimitrakan lebih dari 61 cabang di seluruh Indonesia mulai dari sumatra hingga papua, untuk PEEBEE lebih dari 80 cabang di Indonesia,dan TAKESITA menuju 50 cabang di kota Jogja.

Rata-rata perhari setiap gerai CAMCAW dan PEEBEE memiliki omzet Rp 300 – Rp 600 ribu per hari baik dari offline maupun online order, sedangkan untuk TAKESITA rata-rata Rp 450 ribu per hari.

Bermula ketika dirinya hamil anak pertama, Jessica Fitriani Putri saat itu sulit sekali keadaannya. Untuk membeli 1 gelas boba seharga 28 ribu saja ia tidak mampu. “Akhirnya kami beli boba yang 5 ribuan tapi karena tenggorokan saya sensitif akhirnya malah saya radang tenggorokan hehehe,”  kenangnya sambil tersenyum tipis.

Wanita cantik yang akrab disapa Jessica ini kemudian berpikir untuk mendirikan bisnis minuman. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan orang seperti dirinya di kala kondisi sulit namun bisa menikmati minuman murah yang segar dan nikmat, aman untuk anak dan ibu hamil serta tidak mengandung bahan kimia berbahaya.

Bermodalkan 800 ribu rupiah ia pun memulai bisnis minuman capucino cincau yang diberi nama CAMCAW pada tahun 2014, ketika anak pertamanya lahir. “Keadaan keuangan suami dan saya sedang tidak baik karena kami baru saja menutup usaha travel agent di Jogja dan pindah ke Solo. Saya reflek memulai dengan rombong bekas sederhana seharga Rp 300 ribu dari sisa celengan yang dipecahkan. Padahal untuk bertahan hidup saja saat itu cukup sulit,” bebernya.

“Saat itu suami saya bekerja proyek pembangunan karena backgorund kami S2 arsitek, tapi karena proyek itu penghasilannya bulanan hitungannya maka saya memberanikan diri untuk membeli rombong bekas di toko barang bekas senilai 300 ribu. Kemudian kami memulai berjualan capucino cincau di pinggir apotek. Pikir saya untuk pemasukan harian setidaknya ada uang lauk setiap harinya,” kisahnya.

Ide bisnis Jessica sempat ditolak dengan keras karena suaminya berpikir masih bisa menghidupi keluarga. “Tapi karena alasan saya adalah supaya ada yang penghasilan harian untuk sekedar tambah-tambah dan penghasilan dari proyek bangunan dia yang digunakan untuk keperluan besar maka saya diijinkan memulai usaha ini walaupun dengan sedikit ngomel setiap harinya,” jelasnya.  

Singkat kata, ia pun memulai bisnis dengan modal dan peralatan hasil pinjam dari sana sini. Analisa perhitungan biaya produksi dan estimasi keuntungan pun masih sangat awam. ”Waton” saja kata orang jawa, asal buka saja, dan benar saja dalam satu bulan saya harus tutup, karena rugi besar,” ungkapnya.

Bisnisnya tidak langsung membuahkan hasil. Ia hanya menjual beberapa cup capucino cincaw saja. Padahal per cup ia jual cukup terjangkau hanya 5000 rupiah tapi masih juga tidak laku. “Nampaknya size, rasa, varian, sistem pengawasan setok itu juga menjadi bagian pertimbangan penting,” pikirnya ketika itu.

Proses trial and error dalam memulai bisnis pun terus ia lakoni, mulai dari 3 orang temannya yang tengah berkunjung dirumah yang dijadikan tester. “Saya uji coba berbagai rasa minuman ini, bahkan ada yang sakit perut setelahnya, tapi dari situ kami coba memperbaiki dari rasa, komposisi, sistem dll,” katanya.

Jessica rehat sejenak sambil merenungkan apa yang salah. Ia mulai menyusun kembali perencanaan bisnisnya. Apa saja yang harus disiapkan di awal mulai dari branding, logo, produk, sistem suplai bahan baku, memilih suplier yang berkualitas supaya bahan stabil, dan memikirkan sistem stok supaya tidak dicurangi lagi, juga mencari tenaga kerja yang baik, dan sebagainya.

Akhirnya, Jessica melakukan perombakan besar-besaran, mulai dari warna, logo, jenis produk, kualitas dan kelas produk, “sehingga lahirlah camcaw bubble drink, rebranding yang berlaku hingga sekarang,” ungkapnya.  

CAMCAW pun kemudian dikenal sebagai minuman kekinian dengan kualitas menengah ke atas dengan harga yang terjangkau, saat itu Rp 10 ribu per cup all item, dan kemudian kami mulai masuk ke mall dan ikut bazar mall ke mall. “Dan membuat brand image “CAMCAW adalah minuman bubble yang enak, sehat tapi murah, yang mana biasanya 1 cup buat sekeluarga sekarang beli masing-masing satu cup karena murah dan rasanya tidak jauh beda”,” kata Jessica.   

“Lalu kami memberanikan diri mengikuti pameran IFRA di jakarta pada tahun 2016. Waktu itu saya seperti orang udik, tidak tahu apa-apa hanya bawa laptop. Kami bersyukur sekali teman-teman di Jakarta sangat membantu, bergotong royong meminjamkan blender, slow cooker, panci dan lain-lain  supaya kami bisa membuat tester untuk pengunjung,” kata dia.

Dari situ mulai lah CAMCAW dikenal dan mendapatkan mitra dari Sumatra hingga Papua. “Pertama kali memulai bisnis kami belum ada mengenal pengetahuan sama sekali tentang franchise ataupun kemitraan. Kami pun belajar untuk beberapa waktu sebelum memulai sistem kemitraan,” jelasnya.  

Dalam mengembangkan sistem kemitraan, ia selalu berprinsip untuk tidak memberatkan mitra. Banyak orang membuat usaha kemitraan dan menerapkan franchise fee yang tinggi sebagai ajang aji mumpung mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. “Sedangkan kami menjual kemitraan dengan harga paket yang cukup terjangkau, saat itu 8-15 juta saja karena kami mengutamakan keberlangsungan usaha mitra kami,” bebernya.  

Sampai hari ini CAMCAW memiliki 61 cabang dari Sumatra hingga Papua, dan memiliki beberapa merk lain yang ada di bawah naungan CV CAMCAW indonesia seperti PEEBEE ICE BLEND yang sudah dimitrakan lebih dari 80 cabang di indonesia, TAKESITA GYOZA yang sedang proses menjadi 50 cabang, MIXEN supplier bahan baku minuman dan makanan, DOGER JEGER, KOKOA, HEI NUOMI dan lain sebagainya.

Jessica menuturkan, bisnis yang tumbuh berhasil tak lepas dari dukungan yang baik. Begitupun CAMCAW didukung oleh lingkungan yang sangat sehat dan membangun. “Contohnya, CV CAMCAW Indonesia berada dalam naungan Kementrian Perdagangan, dimana kami selalu dibimbing dan diajari bagaimana dapat bertahan dalam segala kondisi, menjadi lebih dari sekedar pedagang tapi juga pebisnis,” jelasnya.  

“Saya selalu belajar dari orang-oranng yang lebih dahulu sukses, karena lingkungan yang baik akan mempengaruhi bagaimana kita bertindak, berpikir dan akan menjadi sifat seterusnya menjadi karakter kita yang mana hal itu menentukan kesukesan kita,” sambungnya.

CAMCAW berkembang secara secara organik tanpa iklan. Jadi benar-benar dari pelanggan, kata Jessica, dan orang-orang yang tertarik dengan model bisnis Camcaw Group.

“Produksi kami awalnya hanya untuk mesuport mitra CAMCAW, PEEBEE dan merk-merk kami yang lain tapi sekarang berkembang untuk mesupply merk-merk luar yang membutuhkan bahan baku, dengan merk dagang MIXEN,” jelasnya bangga dengan perkembangan bisnisnya beberapa tahun terakhir ini.

Camcaw Group yang dahulu memiliki sistem produksi sederhana yang hanya mencukupi keperluan mitra saja, kini mampu mensuplai pedagang di luar mitra dan secara spesifik melayani maklon untuk pemilik merk yang dimitrakan dengan merk MIXEN. “Kami pun dipercaya untuk mengembangkan brand milik klien kami seperti cafe, resto, agrowisata dll,” jelasnya.

Tak dipungkiri Jessica, dalam bisnis pasti ada kendala. Begitupun dirinya, mulai kendala tenaga kerja, kekurang tahuan mengenai sistem usaha, pengadaan barang dan bahan, cara menjalankan usaha, cara bertahan dalam mengahadapi segala permasalahan yang melanda, cara mempertahankan standart kualiatas di setiap cabang berbeda dan sebagainya.

Begitupun kendala bahan baku di awal memulai bisnis. Jessica harus membeli bahan baku di pasar lokal karena kurang pengetahuan dan link-ya. Ada pula kendala di SDM yang kerap menjadi ujian bisnis. “Pertama kali kami jual di teras apotek kecil di solo, tapi ternyata dalam 1 bulan kami harus tutup karena kehabisan modal dan tidak laku, saat itu karyawan yang bantu jaga mengatakan, “mustahil bu Camcaw ini bisa laku, rasanya ngga enak” sempat kami down dan memutuskan untuk menyerah,” katanya.

“Ternyata ketika kami telusuri, ada kecurangan penggunaan bahan, semisal bahan untuk 10 cup dicairkan menjadi 20 cup supaya yanng 10 cup bisa masuk ke kantong sendiri, sehingga rasanya jadi tidak enak,” bebernya.

Jessica pun harus menghabiskan cup yang sudah tercetak dan sisa bahan supaya bisa cair menjadi uang, maka dibuatnya menjadi RTD (reay to drink). “Saya masukan termos nasi, saya gendong dengan suami saya, naik motor, kami keliling di pasar darurat klewer yang saat itu lagi panas-panasnya,” ujarnya mengenang masa-masa sulit.  

“Sehari dua hari laku lama-lama nampaknya produk kami mulai tidak diminati. Akhirnya kami mencoba ikut bazar–bazar SMA dengan sewa 50-100 ribu per hari, terkadang laku dan terkadang tidak. Kami memperbesar omzet dengan bazar ke bazar, terkadang bisa dalam satu hari kami bzar di 3 tempat, dari situ terbentuklah kesolidan tim CAMCAW untuk saling membangun,” tambahnya.

“Saat tim solid saya yakin itu mendatangkan rejeki, dan di setiap bazar kami laku keras dan bisa menambah banyak cabang tetap bermodal keuntungan hasil bazar tersebut, sampai pada akhirnya pergerakan kami ini menarik perhatian dari mtira pertama kami dari Surabaya,” ucapnya.

Jessica sebelumnya adalah seorang karyawan bank, karena harus ikut suami ia resign, dan saya membangun usaha travel agent bersama sang suami. “Saat itu peralihan dari travel agent konvensional dan muncul sistem ticketing via website yang semua orang bsia memesan sendiri tanpa lewat travel agent,” katanya.

“Nah disitu saya jadi memahami bahwa kita harus memilih jenis usaha yang “kebal” terhadap berbagai kondisi, setidaknya mampu berevolusi dan bermodifikasi sehingga tidak karam,” tegasnya.

Mensikapi Pandemi

Jessica Fitriani Putri, ST, Founder Camcaw Group

Di awal pandemi hampir semua sektor bisnis mengalami kelumpuhan. Begitu juga CAMCAW. Menurut Jessica, titik terendah saat pandemi ketika harus menutup dan memberi ijin tutup hampir 85% cabangnya yang otomatis berpengaruh pada sistem produksi dan administrasi. “Maka perampingan perusahaan mulai dari pengurangan karyawan dan pengurangan gerai tidak terelakan,” jelasnya.

Mulai lah ia melakukan pengurangan varian menu, hanya menyediakan menu yang terlaris untuk mengurangi resiko barang terbuang. Sampai pada perubahan standart lokasi cabang yanng tadinya di keramaian seperti mall dan foodcourt menjadi cloud kitchen. “Semua upaya adaptasi kami lakukan untuk mempertahankan perusahaan dan mitra,” katanya.

Di awal pandemi, kata dia, pendapatan turun sampai pada 70%. Sempat naik sedikit namun kemudian di gelombang kedua COVID19 turun hingga 90%. “Maka pengelolaan keuangan diarahkan pada yang utama dibutuhkan terlebih dahulu, yaitu biaya operasional, pengurangan dilakukan kepada bugjet iklan, event dan penambahan aset,” bebernya.

Jessica pun mau tidak mau melakukan adaptasi di semua sektor, mulai dari penjualan produk seperti yang sudah sampaikannya di atas dipadatkan menjadi menu terfavorit saja atau malah penambahan menu baru yang minim resiko, sehingga mengurangi modal terbuang dan mengurangi stok yang harus disediakan mitra

“Produksi yang terus berjalan pun harus dipertimbangkan pembuangan barang jadinya sehingga lahirlah MIXEN yang mana melayani bahan baku para pelaku usaha f&b di luar mitra kami,” ujar S1 arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan S2 Arsitektur Universitas Atma Jaya yogyakarta.

Di samping itu, kata dia, ada persoalan biaya sewa, gaji, modal bahan baku juga yang menjadi tantangan tersendiri. Sehingga untuk gerai-gerai yang kurang efektif penjualannya kami arahkan menjadi cloud kitchen sehingga merngurangi beban sewa.

Jam kerja juga, kata dia, diperpendek hanya di jam efketif sehingga beban gaji lebih ringan, namun bagi mtira yang membuka cloud kitchennya di rumah bisa membuka usahanya 24 jam karena lebih leluasa sebagai adaptasi kebijakan pembatasan kegiatan untuk di rumah saja. “Sehingga mitra bisa sambil WHO sambil mengerjakan order,” terangnya.

Tantangan lainnya di masa pandemi ini lanjut dia, isu higienitas dan kesehatan. Tidak cukup hanya sekadar enak dan murah tapi harus meyakinkan pembeli bahwa produk kami ini diolah dengan sehat, bersih dan aman bagi customer. “Hal itu ditunjukan melalui sosial media kami bahwa produk diolah dengan menggunakan alat perlindungan diri seperti satung tangan, masker, faceshield, ataupun diproses dengan zero contact. Peralatan makan seperti sedotan yang dikemas masing-masing agar higienis,” jelasnya.

Meski demikian, CAMCAW tidak berhenti berinovasi bahkan jauh lebih giat mengikuti kebutuhan pasar supaya tidak tergilas di masa pandemi. “Contohnya ketika pusat keramaian tidak boleh beroperasi kami menghasilan produk GYOZA KELILING PERTAMA dengan merk TAKESITA,” kata Jessica.

Dengan konsep Frozen food yang dijajakan berkeliling jemput bola, kata dia, maka Camcaw Group mampu bertahan tanpa berhadapan dengan harga sewa yang tinggi serta menjawab kebutuhan pasar yang kecenderungannya makan di rumah selama pandemi. “Ini juga membantu membuka peluang usaha bagi para mitra driver yang bekerjasama dengan kami, karena para driver bukan lah karyawan tapi mitra yang kami modali supaya dapat berwirausaha dan saat ini TAKESITA terus bertumbuh menuju ke 50 unit,” katanya.

Camcaw Group menawarlan peluang bisnis kemitraan dengan investasi mulai dari Rp 12 juta hingga Rp 63 juta untuk peluang bisnis CAMCAW, dan Rp 3 juta hingga Rp 8 juta untuk peluang bisnis PEEBEE. “Di PEEBEE rekor mitra kami balik modal adalah selama 7 hari pertama yang mana rata-rata kembali modal di bulan kedua, di CAMCAW rekor tercepat mitra kami kembali modal di minggu ketiga namun rata-rata kembali modal dala bulan ke 7,” terangnya.

Rencanca ke depan, Jessica akan terus mengembangkan model bisnis kemitraan ini sebagai upaya menggiatkan perekonomian mikro, dimana semua orang bisa berwirausaha denngan mudah dan murah, “dimana semua orang bisa turut serta membuka lapangan pekerjaan,” kata wanita yang punya hobi ngemil, ngegame, dan bermusik ini.

“Saran saya bagi teman-teman yang memulai bisnis, bisnis itu bukan tentang bagaimana anda bisa memulai bisnis, karena memulai bisnis itu mudah, mengakhirinya jauh lebih mudah, tapi bagaiman anda dapat mempertahankan bisnis itu melewati berbagai kondisi,” pungkasnya memberikan tips berbisnis.

Zaziri