Managed by Franchisor

Dari sekian banyak waralaba lokal di Indonesia, fenomena “managed by franchisor” (dikelola oleh pewaralaba) merupakan ciri khas Indomaret dan Alfamart. Model ini dianggap lebih aman bagi pewaralaba, karena tingkat keseragaman kualitas layanan lebih terjamin. Demikian juga dengan ketepatan waktu pembayaran tagihan-tagihan oleh terwaralaba kepada pewaralaba. Akhir-akhir ini beberapa pewaralaba yang melirik pola “dikelola oleh pewaralaba”, karena pertimbangan tersebut.

Pewaralaba perlu memahami konsekuensi dari kebijakan ini. Bila pewaralaba yang mengelola, maka ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dengan baik oleh pewaralaba.

Laporan yang cermat dan tepat waktu

Mengingat terwaralaba akan duduk manis dalam model waralaba yang dikelola oleh pewaralaba, maka terwaralaba perlu menerima laporan tepat waktu. Laporan ini harus akurat alias dibuat secermat mungkin.

Untuk dapat menghasilkan laporan yang cermat dan tepat waktu, dukungan sistem administrasi dan sistem informasi alias perangkat lunak harus sudah siap dan benar-benar teruji. Tim yang terlibat dalam proses administrasi harus dapat diandalkan alias menguasai tugas-tugasnya dengan baik.

Resiko kehilangan barang

Karena terwaralaba diminta duduk manis saja dalam model waralaba ini, maka resiko kehilangan barang dapat diasumsikan merupakan tanggungjawab pewaralaba. Tentu saja dalam jumlah tertentu beban ini bisa ditanggungkan ke pegawai, misal 70% dari harga jual ditanggung pegawai, 30% oleh perusahaan. Kejelasan 30% ditanggung perusahaan ini harus dikomunikasikan dengan baik. Pengertian “perusahaan” yang menanggung ini juga harus jelas, terwaralaba atau pewaralaba.

Kehilangan di sini tentu bisa bermakna dicuri pengutil (pencuri yang berpura-pura jadi pelanggan). Meski demikian, statistik menunjukkan bahwa persentase terbesar kehilangan barang atau pencurian itu justru pelakunya seringkali orang dalam alias pegawai.

Resiko penyelewengan keuangan

Ini merupakan konsekuensi terberat bagi pewaralaba. Dalam hal terjadi penyelewengan keuangan, dan biasanya ini menyangkut jumlah besar, tentu saja pewaralaba harus bertanggungjawab, karena ia telah memutuskan untuk menjadi pengelola operasional sehari-hari dari bisnis yang diwaralabakan tersebut. Terwaralaba tidak tahu menahu dalam konteks ini.

Untuk mengurangi beban moral atas penyelewengan keuangan, pewaralaba dapat meminta satu orang sebagai wakil dari pihak terwaralaba untuk menjadi tim administrasi gerai milik terwaralaba tersebut. Hal lain yang bisa dilakukan adalah melibatkan terwaralaba dalam memutuskan pegawai yang akan diterima bekerja. Dengan demikian keputusan penerimaan merupakan keputusan bersama. Berikan pula hak untuk melakukan pengawasan kepada terwaralaba, sehingga penyelewengan dalam konteks salah memilih pegawai dan celah sistem menjadi tanggungjawab bersama.

Tidak mencapai target penjualan dan target keuntungan

Meski resiko tidak mencapai target penjualan dan target keuntungan merupakan sesuatu yang dipahami oleh terwaralaba, dan dapat dicantumkan dalam perjanjian bahwa hal ini merupakan resiko bisnis yang sudah diketahui oleh terwaralaba, mengingat pewaralaba merupakan pengelola operasional sehari-hari, maka harus ada tanggungjawab dalam batas tertentu sebagai perwujudan itikad baik pewaralaba. Dalam hal ini ada pewaralaba yang membebaskan beban biaya royalti sebelum mencapai angka penjualan tertentu, ada yang memberi jaminan pengembalian sebesar bunga deposito satu bulan yang berlaku di bank rujukan.

Bagi Anda yang hendak menjalankan waralaba dengan konsep “managed by franchisor” sebaiknya pahami benar konsekuensi-konsekuensi tersebut di atas. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Utomo Njoto

Senior Franchise Consultant dari FT Consulting

Website: www.consultft.com

Email : utomo@consultft.com