Kebutuhan vs Keinginan dalam Membangun Sistem Teknologi Informasi

Suatu saat, seorang teman menuturkan bahwa dia ingin berekspansi ke bisnis ritel makanan. Keinginannya terdorong oleh fenomena bisnis makanan yang saat ini sedang marak. Kebetulan saat ini beliau memiliki pabrik baso yang kapasitasnya cukup besar. Dengan kekuatan source yang tersedia, teman saya yakin kalau dia akan bisa menjalankan bisnis ritel baso, yang kedepannya akan dapat difranchisekan. Dengan melakukan bisnis retail ini, diharapkan bisnis inti produksi baso nantinya akan dapat lebih berkembang.

Diskusi berlanjut ke arah bagaimana menjalankan operasional bisnis ritel yang lokasinya akan tersebar. Tantangannya adalah bagaimana memonitor performa masing-masing cabang dengan sistem yang baik. Padahal bisnis pabrik yang saat ini berjalan, proses operasional produksi dan pendukungnya seperti distribusi dan lainnya masih sangat tergantung sepenuhnya kepada orang/ individu dan belum menjalankan sistem secara baku. Bahkan kendali utama juga masih dilakukan langsung oleh teman saya sebagai pemilik bisnis.

Bisnis ritel tentu saja lebih banyak memiliki tantangan jika dibandingkan dengan produksi. Tantangannya terletak pada proses operasional dan pengawasannya. Hal ini sejalan dengan karakter dari bisnis ritel yang sangat terdistribusi, terlebih lagi apabila jika kita bicara membuka lokasi ritel yang berlainan kota sampai ke seluruh pelosok Indonesia.

Selanjutnya pembicaraan berlanjut pada bagaimana membangun sistem bisnis ritel, apakah nantinya akan dioperasikan sendiri atau dijalankan dengan cara franchise. Pastinya pemilik bisnis harus mempunyai suatu sistem yang dapat diandalkan agar operasional dapat berjalan dengan lancar dan dapat termonitor dengan baik.

Akhirnya diskusi berujung kepada ‘Sistem Komputerisasi/ Teknologi Informasi (TI)’, yaitu sistem apa yang harus dibeli agar dapat menunjang ekspansi bisnis ritel ini. Teman saya berpikir seakan-akan dengan membeli sistem TI, semua permasalahan yang akan dihadapi langsung dapat terselesaikan. Kekeliruan inilah yang sering terjadi dalam proses investasi sistem TI. Investasi hanya didasarkan kepada ‘rasa’ bukan pada ‘kenyataan’ atas permasalahan yang perlu diselesikan. Ini berakibat investasi sistem kebanyakan berujung pada kekecewaan karena pemilik bisnis merasa sistem yang dibeli dengan mahal tidak dapat membantu atau justru berkesan menyusahkan dan memperlambat proses.

Investasi sistem TI saat ini dilihat sebagai suatu kebutuhan mendesak, namun di lain sisi tidak mudah untuk memutuskan pembelian suatu sistem tanpa kita menyadari kebutuhan yang ada. Kadang kebutuhan kita saat ini lebih pada merapikan sistem prosedur saja dan belum memerlukan sistem TI. Dengan sistem prosedur manual yang terdokumentasi dengan baik sudah memungkinkan kita dapat memonitor kegiatan operasional sehari-hari. Nah.. kapan kira-kita sistem TI diperlukan? Jawabannya adalah jika ekspansi bisnis sudah menjadi besar dan ketika kecepatan pelaporan serta kontrol sudah mulai menjadi kendala. Pada saat inilah, bisa jadi investasi sistem  TI akan sangat membantu dan invetasi akan lebih bermanfaat. Tentunya Dengan sistem operasional dan prosedur yang sudah tertata baik, akan lebih mudah menerapkan sistem TI.

Sebagai penutup saya beri sedikit catatan bahwa sangat penting bagi kita untuk mengetahui semua permasalahan yang ada dan harapan apa yang diinginkan jika nantinya membeli sistem TI. Hal ini sangat penting karena tanpa harapan/ ekspektasi yang jelas, biasanya akan berujung kepada kekecewaan. Dalam hal ini biasanya pihak yang membangun sistem TI akan menjadi pihak yang disalahkan, padahal implementasi sistem baru bukan hanya melulu soal TI, namun juga mencakup perubahan bisnis proses, perubahan cara kerja tim dalam perusahaan, dan yang terakhir adalah soal teknikal TI. Ketiganya harus berjalan selaras.

Andy Djojo Budiman

Co-Founder & Director PT. Sterling Tulus Cemerlang (STEM)

www.sterling-team.com