Franchise & Kriteria Memilih Franchisee

Selama terjun ke dalam bidang pendidikan anak yang sekaligus merupakan bisnis franchise selama puluhan tahun, saya melihat bahwa bisnis franchise juga memiliki tantangan psikologis baik bagi franchisor maupun calon terwaralaba atau fanchisee. Pasalnya, sudah menjadi wacana umum, hampir semua orang membeli franchise dengan motivasi meraih keuntungan yang jelas dengan jaminan reputasi sebuah merek bisnis dan kalau bisa, sekaligus menggali passionate terdalam dalam diri mereka.

Selama terjun ke dalam bidang pendidikan anak yang sekaligus merupakan bisnis franchise selama puluhan tahun, saya melihat bahwa bisnis franchise juga memiliki tantangan psikologis baik bagi franchisor maupun calon terwaralaba atau fanchisee. Pasalnya, sudah menjadi wacana umum, hampir semua orang membeli franchise dengan motivasi meraih keuntungan yang jelas dengan jaminan reputasi sebuah merek bisnis dan kalau bisa, sekaligus menggali passionate terdalam dalam diri mereka.

Kecenderungan yang sempat saya tangkap dalam pengamatan saya ketika pertama kali membeli waralaba ada franchisor yang mengiming-imingi keuntungan yang besar bagi para calon franchisee. Alhasil, secara psikologis, franchise sudah merasa aman berinvestasi di bisnis waralaba dan hal ini merupakan pola pikir yang keliru dalam menggeluti bisnis franchise.

Anggapan klasik yang mengatakan bahwa tingkat keberhasilan usaha waralaba mencapai 95% sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Informasi mutakhir mengungkapkan, 95% bisnis waralaba yang dianggap berhasil itu termasuk bisnis terwaralaba atau franchisee yang berganti pemilik berkali-kali, dan seandainya pemilik sebelumnya merugi atau bangkrut sekalipun kegagalannya tidak terekam.

Sebuah penelitian dilakukan Arthur Andersen dan dipublikasikan pada tahun 1993, hasil penelitian mengungkapkan bahwa tingkat keberhasilan usaha franchise di tahun pertama hanya mencapai angka 76.5%. Lebih jauh, The American Bar Association’s Forum on franchising menyebutkan sekitar sepertiga dari usaha waralaba memang berhasil dengan baik, namun sepertiga lainnya mengalami masalah serius dalam hal keuangan alias tidak berhasil dan sepertiga lainnya beroperasi dengan kinerja pas-pasan, ini berarti tingkat keberhasilannya hanya mencapai 67%.

Meskipun demikian, usaha waralaba masih tetap menjanjikan. Berapapun angka tingkat keberhasilan dalam suatu penelitian terhadap usaha waralaba. Tapi sesungguhnya angka itu merupakan angka rata-rata. Jadi, mungkin saja ada usaha waralaba yang tingkat keberhasilannya mencapai lebih dari 95% dan juga ini berarti ada juga yang tingkat keberhasilannya kurang dari 50%. Dari fakta di atas bisa dipetik kesimpulan, untuk lebih hati-hati bagi investor yang ingin membeli bisnis waralaba. Begitu pula bagi franchisor yang ingin memperluas jaringan waralabanya.

Jika dirinci faktor yang membuat keberhasilan usaha waralaba bisa sangat banyak sekali. Misalnya, dari segi model bisnis pihak pewaralaba, FT Consulting Singapura menetapkan empat kriteria yang membuat bisnis waralaba bisa berhasil. Pertama, replicable atau dapat diduplikasi dengan baik, bergantung pada sistem, bukan pada keterampilan individual.

Kedua, controllable, yaitu kualitasnya dapat dikendalikan atau dijaga. Ketiga, sustainable atau mampu bertahan di tengah perubahan dan perkembangan persaingan di lapangan. Bukan suatu trend sesaat. Keempat, marketable atau produknya dapat dipasarkan alias ada sejumlah pelanggan potensial, serta memiliki merek yang kuat. Kelima, profitable, yang berarti memiliki tingkat keuntungan yang dapat dibagi kepada pihak-pihak yang terlibat, yaitu franchisor dan franchisee.

Jangan sampai yang menikmati profit hanya franchisor, atau hanya franchisee-nya saja. Keberhasilan juga, sangat bergantung kepada organisasi franchisor. Di sini dibutuhkan tim manajemen yang kompeten, sistem yang profesional, infrastruktur yang dapat diandalkan, serta paradigma yang benar tentang franchise.

Selanjutnya, yang harus diperhatikan franchisor agar usahanya diterima oleh investor (franchisee) adalah, bagi investor sebetulnya harus layak dari kacamata investasi. Artinya memiliki peluang memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan ditaruh di deposito, karena produk investasi ini tidak ada resikonya. Atau untuk yang sama-sama beresiko, minimal tingkat pengambilan modalnya harus setara dengan rata-rata tingkat pengembalian reksadana misalnya.

Di franchise, keberhasilan juga sangat ditentukan oleh dukungan franchisor dalam pengelolaan merek (brand management). Hal ini terkait erat dengan kegiatan public relations dan advertising untuk mendukung upaya pemasaran produknya. Bukan sekedar kegiatan periklanan dan public relations untuk memasarkan waralabanya atau menjaring franchisee semata.

Tapi yang harus selalu diingat, namanya franchise tidak menjamin kesuksesan. Franchise ada juga yang gagal. 50% kegagalan suatu bisnis waralaba dikarenakan faktor pewaralabanya, 25% lainnya karena faktor pasar dan kompetisi, dan 25% lagi karena faktor terwaralaba.

Contoh faktor kegagalan dari pewaralaba misalnya, pewaralaba over promise dan under deliver. Artinya menjanjikan hal yang muluk-muluk tapi dalam prakteknya dukungannya amat kurang. Contoh lainnya adalah kurang menyeleksi kandidat terwaralabanya, tidak kompeten dalam melakukan survei lokasi, kurang fokus pada bisnis yang diwaralabakan alias punya banyak bisnis lain, kurang terbuka terhadap gagasan atau ide-ide dari terwaralaba, tidak melakukan perbaikan dan inovasi, strategi pemasarannya lemah, dan pertumbuhan yang terlalu cepat yang melampaui kemampuan pewaralaba dalam menjaga standar kualitasnya.

Kemudian faktor kegagalan dari pasar dan kompetisi misalnya, makin banyak pemain sehingga kue yang jumlahnya tetap sama diperebutkan oleh makin banyak pihak, perubahan tren, menurunnya daya beli masyarakat, naiknya harga bahan baku yang diikuti dengan sulitnya mendongkrak harga jual sehingga margin keuntungan makin tipis, dan sebagainya.

Selanjutnya faktor kegagalan dari terwaralaba misalnya sulit untuk tunduk pada sistem yang sudah dibuat oleh pewaralaba, superkreatif alias terlalu banyak ide, tidak bisa mengelola pegawai dan menjaga kualitas layanan sesuai standar yang ditetapkan pewaralaba.

Menyeleksi Calon Franchisee

Kriteria apa yang digunakan franchisor untuk menyeleksi franchisee?

Kriteria apa yang digunakan oleh franchisor untuk menyeleksi franchisee secara timbal balik bisa digunakan oleh franchisee untuk menilai siapa sebenarnya franchisor tersebut. Ada franchisor yang mensyaratkan adanya persamaan visi dan misi antara kedua belah pihak. Meski kelihatan sepele dan abstrak namun persoalan ini tidak bisa disepelekan. Sudah banyak bukti tentang franchise yang kandas di tengah jalan dan berantakan gara-gara perbedaan visi dan misi antara franchisor dan franchisee padahal secara bisnis usaha tersebut sangatlah prospektif. Yang perlu diwaspadai lagi adalah franchisor yang tidak memiliki kriteria terhadap calon franchisee. Biasanya tipe franchisor ini hanya menghendaki franchise fee dari franchiseenya.

Jika Anda telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada franchisor dan memberikan penilaian yang tepat atas jawaban-jawaban dari franchisor maka besar kemungkinan Anda bisa mendapatkan franchise yang terbaik menurut Anda dan sekaligus terhindar dari “jebakan-jebakan” yang dipasang oleh franchisor yang tidak bertanggung jawab. 

Untuk mendapatkan franchisee yang berkualitas dalam menjalin hubungan kerja sama waralaba dalam jangka panjang, sudah menjadi keharusan bagi Anda selaku franchisor untuk menerapkan seleksi yang ketat terhadap para calon franchisee Anda. Ada beberapa hal pokok yang sebaiknya Anda perhatikan dalam menyeleksi franchisee Anda yaitu:

1. Integritas calon franchisee

2. Komitmen dan konsistensi yang sama dari calon franchisee

3. Track record usaha calon franchisee

4. Visi dan misi yang sama dari calon franchisee

5. Rencana bisnis calon franchisee yang mencakup antara lain:

a. Kemampuan financial calon franchisee

b. Lokasi yang ditawarkan oleh calon franchisee

Tahap-tahap umum yang biasanya dilakukan oleh para franchisor dalam menyeleksi  para calon franchisee adalah:

1. Pengajuan permohonan untuk menjadi franchisee

2. Pemenuhan syarat-syarat yang diajukan oleh franchisor

3. Seleksi persyaratan awal

4. Interview/tatap muka dengan franchisor

5. Penandatanganan perjanjian waralaba

6. Orientasi dan Pelatihan

Oleh karena itu Franchisor sangatlah penting untuk mengenal lebih jauh calon franchisee-nya. Jadi, selain harus mengisi formulir aplikasi, calon franchisee juga diwawancarai secara khusus. Kami akan menanyakan banyak hal, terutama tentang alasan mereka mengambil waralaba kami. Juga, latar belakang keluarganya, apakah sudah ada yang pernah mengambil waralaba atau belum dan jenis usaha apa yang selama ini dijalankan.

Terkadang, kendati sudah menjalankan proses seleksi lumayan ketat, dalam perjalanannya terkadang kami masih menemukan franchisee yang nakal. Mereka mengaku kesulitan membayar fee royalty, sehingga pembayaran jadi tidak tepat waktu.  Saat menemukan masalah seperti ini, kami akan mencoba mengkomunikasikannya dengan mengajak bicara baik-baik, tidak dengan cara seperti waralaba yang lain yang terkadang langsung cut loss jika telat bayar, kami mencoba mencari tahu ke mereka dulu, apa yang menyebabkan mereka terlambat membayar dan apa kendalanya. Biasanya, kami memberi waktu tiga bulan untuk menyelesaikannya sambil mencari jalan keluar terbaik dalam menaikkan jumlah atau omset cabang tersebut.

Karena itu, untuk mengurangi terjadinya masalah tersebut di kemudian hari, seharusnya para Franchisor dapat memberi berbagai bimbingan ke para franchisee-nya. Dalam berpromosi, misalnya, pihak franchisee dapat bertukar pikiran dengan Franchisor. 

Novita Tandry

Praktisi Franchise Pendidikan dan Pakar Pendidikan Anak