Distribusi yang Membunuhmu

Suatu hari saya mendapat curhatan dari mitra franchise makanan di Aceh. Sebut saja Martabak X. Mitra tersebut mengeluh kepada saya betapa dia harus menutup usaha franchise makanannya lantaran ketidakpastian pengiriman bahan baku dari kantor pusatnya di Jakarta. Disamping itu harga kulakan bahan-bahannya menjadi mahal karena ongkos pengiriman ditanggung oleh mitra. Akibatnya terpaksa ia menaikkan harga Rp 3 ribu- Rp 5 ribu dari harga makanan tersebut di Jakarta. Akibatnya dapat ditebak, harga menjadi kompetitif dan pelanggan menjadi enggan membelinya karena menjadi terlampau mahal.

Anda tentunya tahu bahwa produk ritel biasanya menggunakan sistem Harga Eceran Tertinggi (HET). Meskipun untuk daerah pelosok di Papua Kalimantan dan Sulawesi HET sedikit melenceng dikarenakan memang di daerah tersebut tidak ada distributor brand dari produk tersebut.

Pertanyannya: Apa fungsi HET?

Fungsi HET antara lain : Pertama, menjadi standarisasi harga sehingga menciptakan persepsi pagu harga di benak pelanggan. Misalnya, Aqua botol tanggung adalah Rp 2.500/pcs. Paling mahal diatas HET kira-kira Rp 3.000. Sehingga ketika kita mau membeli produk brand ritel tersebut kita sudah antisipatif dengan besarnya anggaran yang harus kita keluarkan.

Kedua, sebagai pengatur margin antar tingkat peritel. Sebagai mana diketahui rantai distribusi independen terdiri dari Principal-Wholesales- Retailer-Consumer. Dengan membuat HET maka pengaturan margin antar tingkatan peritel tersebut menjadi rapi dan adil. Misalnya margin Wholesaler 10%, Retailer 30% sehingga antar distributor tersebut saling bekerja sama dan terjadi sinergi, bukan main potong jalur sebagai lazim di industri franchise—distributor yang memasok bahan mentah ke franchisor ternyata juga main belakang, menjual bahan mentah kepada mitra-mitra franchisor.

Ketiga, harga eceran tertinggi mencegah adalah transfer produk dari daerah yang berharga rendah ke daerah yang berharga tinggi yang sering menyebabkan barang hilang di daerah tertentu, namun nemumpuk di daerah lainnya. Secara alamiah orang lebih senang menjual ke daerah yang marginnya lebih tinggi sehingga ia akan cenderung memindahkan barang dari daerah yang bermargin rendah (tempat ia kulakan) dan menjual kembali di daerah yang bermargin tinggi (meskipun itu wilayan distributor atau mitra lain). Akibatnya distribusi produk menjadi tidak merata, kacau balau, dan kepuasan pelanggan menurun.

Bagaimana dengan industri franchise kita tercinta?

Industri franchise di Indonesia tidak dibangun oleh sistem distribusi independen bertingkat yang rapi seperti gambar di atas. Namun rata-rata melakukan sistem penjualan langsung dari kantor pusat langsung ke mitra—wholesaler dan retailer dilewati begitu saja. Barang dengan berat puluhan kilo setiap hari terbang kemana-mana via pesawat terbang atau kapal laut. Bayangkan, ongkosnya perkoli (166kg) barang ke Banda Aceh dari Jakarta via udara adalah Rp 450 ribu. Jadi pantas jika kemudian harga jualnya harus dinaikkan untuk menetupi biaya hantar yang dibebankan kepada mitra tersebut. Harga jual naik, daya saing menurun. Ditambah masalah keterlambatan datangnya pasokan entah karena cuaca atau tim support di kantor franchisor yang belum siap sehingga mengakibatkan mitra sering harus menutup kiosnya beberapa hari karena pasokan bahan mentahnya belum tiba.

Bagaimana solusinya?

Harus disadari bahwa bisnis franchise adalah bisnis ritel oleh karena itu wajib memahami dan menerapkan suatu sistem distribusi yang baik. Distribusi adalah cabang dari ilmu marketing yang memiliki muatan science yang lebih banyak dari pada art-nya. Distribusi juga berhubungan dengan tiga elemen 4P Marketing Mix yang lain yakni Product Price Promotion. Distribusi yang tidak tertata mengakibatkan putaran kincir angin 4P ini menjadi terseok-seok, dengan hilangnya satu baling-baling yakni Place (Distribution).

Solusinya jika kemarin, insan franchise Indonesia telah mahir membuat Produk yang unik, Harga produk yang pantas, dan Promosi yang kreatif sehingga dapat menggaet ratusan bahkan ribuan mitra seluruh Indonesia. Maka sekarang saatnya, insan franchise Indonesia belajar tentang distribusi karena disinilah justru esensi terpenting bisnis ritel.

Bagi franchisor yang sudah besar dengan cabang seluruh Indonesia, mulai berpikirlah untuk membuat stock point jika Anda tidak ingin membuat agent atau distributor. Contohnya MLM, meskipun menjual direct ke konsumen mereka tetap membuat stokist-stokist.

Jika yang ingin lebih naik kelas lagi, franchisor yang ingin menjadi perusahaan ritel sebenarnya maka bangunlah kantor cabang, central kitchen atau sejenisnya. Sehingga, bahan dan barang lebih dekat ke mitra. Kadar response dan pelayanan kepada mitra pun akan meningkat karena dekat dan mudah dikontrol. Konsekuensinya mitra akan lebih puas dan dengan senang hati akan membayar royalty fee dan fee lainnya kepada franchisor.

Saat ini terus terang industri franchise hampir masuk ke titip nadir. Coba Anda bikin riset, tanya kepada franchisor berapa prosentase piutang royalty fee yang tidak tertagih? Berapa persen mitra yang ingkar janji dengan mengambil bahan mentah dari distributor lain? Dan berapa yang tidak membayar perpanjangan franchise package?

Riset saya kecil-kecilan menyimpulkan royalty fee macet (tidak tertagih) di beberapa franchisor nyaris menyentuh 30-40%. Mitra yang curi-curi beli bahan tidak ke kantor pusat sudah jadi hal biasa dan dibiarkan oleh franchisor. Dan bahkan sebagian kecil lagi berani tidak membayar perpanjangan franchise package kepada franchisor dan mengancam franchisor silahkan ambil brand-nya jika memang mau menindak tegas. Franchisornya tidak berani karena kalau itu dilakukan kondisi keuangan franchisor akan makin parah.

Masalah di atas sumber muaranya adalah ketidakpuasan mitra kepada franchisor. Mengapa itu terjadi? Karena slow response dan high cost of material diatas, akibat sistem distribusi yang tidak ditata dengan baik. Maka membenahi distribusi adalah kunci untuk membalikkan industri ini melejit. Selamat bertransformasi dalam distribusi! Good luck.

Anke Saputra

CULTIVATE, Brand Transformation Consultant