Disinformasi Seputar Waralaba

Disinformasi Seputar Waralaba

Dari tahun ke tahun pertumbuhan industri waralaba terus mengalami peningkatan yang cukup membanggakan walau tidak signifikan dan tentunya dapat lebih besar lagi untuk kategori Indonesia. Namun demikian, dibalik pertumbuhan yang cukup baik tersebut terdapat masalah yang terus menghantui dinamika pergerakan waralaba di Indonesia. Beberapa masalah yang mengikuti sejak kelahiran waralaba itu sendiri.

Salah satu masalah yang terjadi adalah disinformasi yang bermuara pada penyesatan tentang waralaba tanah air. Masalah itu muncul karena ketidakfahaman yang mendalam tentang sistem waralaba baik itu oleh insan waralaba atau para pembuat kebijakan.

Guna mendorong pertumbuhan industri franchise Indonesia ke arah yang lebih baik dan sehat, kami mencoba kembali untuk melihat beberapa masalah yang berbuah pada penyesatan dan menghambat pertumbuhan industri.

Pertama, Undang-Undang No 9 Tahun 2009 tentang Usaha Kecil pada BAB VII Kemitraan, Pasal 27. dalam undang-undang itu waralaba dimasukkan sebagai bentuk dari pola kemitraan, disejajarkan dengan bentuk kemitraan lain, seperti intiplasma, subkontrak, dagang umum, keagenan dan bentuk-bentuk lain.

Untuk diketahui waralaba sama sekali tidak bisa dimasukkan dalam pola kemitraan, karena waralaba itu bukan partnership. Dalam waralaba penerima hak bisnis waralaba lebih berperan sebagai penyewa konsep sistem bisnis maupun merek dagang dan bantuan berkelanjutan yang didapat. Selebihnya terwaralaba menjalankan sendiri bisnisnya, tidak ada prinsip mengelola bersama, untung dan rugi ditanggung sendiri, walau pun rugi dia tetap membayar royalti sebagai hak sewa diatas tadi.

Jadi prinsipnya jelas, berbeda dengan join venture atau partnership dimana antara keduanya terjadi berbagi laba dan rugi bersama karena dikelola bersama. Sementara waralaba itu sole entity, maka dari itu tidak bisa waralaba masuk dalam kategori konsep kemitraan.

Kedua, pernah terdengar istilah waralaba Auto pilot. Jika merujuk kepada istilahnya Auto pilot sendiri merupakan satu istilah yang ada di penerbangan, dimana auto pilot digunakan ketika posisi pesawat telah mengudara dengan baik dan aman di angkasa setelah take off, saat itu peran pilot tidak diperlukan, maka digunakan auto pilot karena sudah berjalan dengan baik tidak ada penurunan dan pendakian, pilot kembali diperlukan pada saat mendarat dan ketika terjadi turbulance.

Jadi dalam hal itu, auto pilot dimungkin karena ada situasi pesawat tenang terbang nyaris tanpa hambatan. Tidak dalam bisnis, dalam bisnis tidak ada keadaan ketenangan, bisnis bisa bergejolak kapan saja, setiap saat bisa bergejolak diluar faktor-faktor yang kita mampu prediksi. Maka dari itu, setahu saya, resiko dalam bisnis tidak bisa diasuransikan.

Ketiga,  istilah paket investasi waralaba, dalam waralaba tidak ada istilah paket investasi penjualan waralaba, bahkan tidak dikenal. Istilah paket investasi sendiri sejatinya adalah istilah yang kerap digunakan oleh bisnis yang mengaku waralaba, sejatinya bisnis adalah BO. Tujuan mereka membuat itu untuk menarik minat investor dengan tujuan memberikan penawaran yang menarik bagi investor semata. Itu hanya strategi kosong belaka yang tidak ada dasarnya, apalagi bisnis mereka umumnya tidak lama alias timbul, tenggelam dan hilang tanpa jejak.

Lalu bagaimana yang lazim paket investasi di bisnis franchise? Dalam  standar franchise yang ada itu adalah istilah start up capital, initial fee atau biaya investasi awal yang mencakup biaya renovasi, perlengkapan usaha, biaya promosi dan franchise fee di luar biaya lokasi atau tempat usaha. Pengertian start up capital mau memberitahukan berapa besar dana untuk membuka suatu gerai diluar tempat.

Franchise yang benar akan menjelaskan untuk membuka gerai ini nilai investasinya sekian. Misal Es Teler 77 nilai investasinya Rp 850 juta, meliputi biaya renovasi, peralatan, perlengkapan, modal kerja dan biasa sudah termasuk di dalamnya franchise fee diluar biaya sewa atau beli lokasi. Itu disebut start up capital.

Kelima, ada beredar satu pemahaman yang salah perihal membuat waralaba sejak pertama kali sejak awal didirikan. Perlu diketahui, waralaba itu muncul dari sebuah usaha yang sudah berjalan dan terhitung sukses dan menguntungkan. Kalau dari awal sudah diarahkan dan diniatkan jadi waralaba, itu berindikasi pada mencari keuntungan dalam jangka pendek, itu tidak benar.

Akibat dari kesalahan niatan awal sudah memformat sesuatu menjadi waralaba itu terjadi beberapa kesalahan berikutnya yang dipaksakan. Muncul istilah traditional franchise, personal franchise dan franchise syariah,  itu semua tidak ada. Itu menyesatkan dan tidak benar, franchise itu hanya satu bentuk format.

Keenam, salah kaprah yang terjadi pada SK KPPU, SK nomor 57/KPPU/KEP/III/2009, tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf B Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang Berkaitan Dengan Waralaba Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Dalam pembahasan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha ada lima hal yang terjadi salah kaprah dan pemahaman. Salah satunya pernyataan bahwa franchisor (pewaralaba) tidak boleh menentukan harga jual kepada franchisee (terwaralaba). Itu betul, sejatinya dalam waralaba memang tidak menentukan harga jual yang ada adalah menghitung harga pokok produk atau jasa dan selanjutnya franchisor memberikan pertimbangan harga jual biasa sekian atau marjinnya sekian, itu saja, tidak ada dalam franchise menentukan harga.

Jadi kesalahan KPPU terjadi karena dalam menentukan keputusannya itu melihat BO bukan franchise, dalam BO banyak terjadi seperti itu mereka menentukan harga bagi mitranya.

Pernyataan keliru berikutnya, bahwa pihak franchisee harus mengambil barang dari franchisor, contoh Alfamart. Dalam waralaba ritel hal itu memang mesti dan suatu keharusan, karena dalam bisnis ritel yang mengerti assorted demand hanya franchisor, jadi sangat penting untuk bisnis seperti minimarket dan apotek untuk mengambil produk dari franchisor. Sementara dalam bisnis selain ritel tidak diharuskan terwaralaba mengambil barang dari franchisor, sepanjang kualitas yang disyaratkan sama. Namun demikian sulit bagi franchisee untuk lari ke tempat lain selain franchisor karena beli dari franchisor bisa jadi dapat harga lebih murah, karena franchisor biasa belanja dalam partai besar.

Ketujuh, penyesatan pada istilah HAKI, dimana istilah HAKI hanya diartikan sebatas merek saja. HAKI itu harus ada bobotnya, setidaknya bobot HAKI itu adalah hak paten, penemuan, rahasia dagang atau disain industri. Tanpa tulang punggung itu tidak ada artinya. Banyak yang salah kaprah, mengartikan HAKI itu hanya nama merek saja, just a brand. Ramai orang berbicara masalah mendaftarkan nama saja, sekedar nama saja tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan bobot dari nama seperti disebut diatas.