Dapatkah Sebuah Pujian Dijadikan SOP Service dalam Sebuah Brand?

Hari itu saya lapar. Setelah menimbang beberapa restoran saya akhirnya memutuskan menyantap ‘roti datar Italia’ di sebuah restoran dari franchise terkenal Amerika. Setelah meminta menu, merenungkan apa yang pas selera hari itu, lalu saya memesan makanan dan minuman yang saya inginkan. “Pilihan yang bagus’ ujar sang pelayan sambil mengacungkan jempolnya.

Saya pun hanya tersenyum  simpul sebagai tanda menghargai usahanya melakukan Standard Operating Procedure (SOP).  Sang pelayanpun melanjutkan kata-kata sesuai SOP yang harus dia katakan seperti: makanan akan siap dalam waktu sekian menit, kalau ada tambahan silakan menghubungi dia (lengkap dengan namanya), dsb.

Restaurant ini memang cukup unggul dalam menerapkan SOP yang berkenaan dengan ‘Hospitality’. Pada saat pertama kalinya diterapkan program ini di restaurant tersebut, saya berdecak kagum atas inovasi dalam servis yang mereka tawarkan. Mereka mencoba menciptakan Brand Experience yang terstandarisasi di semua cabang restoran.

Tak lama, si pelayan pun pergi untuk melayani meja yang lain. Setelah si tamu memesan, sang pelayanpun kembali memuji sambil mengacungkan jempolnya: “Pilihan yang bagus!”. Yang membuat saya menahan tawa adalah tanggapan si tamu berikutnya. “Mas ini bagaimana sih, kemaren pesan menu yang itu dibilang bagus, yang dia pesan (menunjuk teman di depannya) juga bagus, yang ini dibilang bagus, semua aja bagus!”.  Si pelayanpun tersenyum kehabisan kata-kata. Menatap kejadian ini lantas membuat saya merenung: “Hmm, bisakah sebuah pujian dijadikan SOP pelayanan?

Ada dua hal yang menurut saya esensial. Pertama: kita semua secara naluriah senang dipuji. Pujian secara psikologis merupakan pengakuan bahwa kita diakui secara eksistensi di lingkungan tertentu. Lihatlah anak-anak balita. Meskipun tidak diajari, selalu mencoba mendapat pujian dari orangtuanya bahwa ia anak yang baik, pinter, atau hebat! Lihat ekspresinya ketika kita memuji kelakuannya yang hebat.

Kita pun pasti masih ingat bagaimana orang sekitar  memuji kita sebagai anak yang hebat ketika kita masih kecil. Orang yang kurang mendapat pujian waktu kecil kadang ketika dewasa menjadi pribadi yang kurang lengkap, kurang menghargai orang lain, mencari-cari perhatian, dsb.  

Seiring perkembangan kita dari anak-anak menjadi dewasa, kita pun belajar bahwa pujian ada yang tulus dan tidak tulus atau dibuat-buat. Kita lebih menghargai sesuatu yang tulus dari hati, bukan karena basa-basi, ada kepentingan tertentu, atau ada sesuatu yang disembunyikan. Di tengah jaman yang penuh dengan intrik dan kepentingan, ketulusan tampaknya menjadi seperti oase di tengah padang gurun.

Kembali ke topik awal: Bisakah Pujian masuk dalam SOP pelayanan Brand Anda?Jawabannya:bisa selama pelanggan bisa menganggap pujian itu tulus! Jadi bagaimana supaya pujian itu tulus? Ini adalah pertanyaan selanjutnya yang harus kita jawab.

Dalam membuat standarisasi sebuah Brand Service, akan lebih mudah jika kita mempunyai ‘front man’ yang mempunyai karakter yang sesuai dengan persepsi Brand yang ingin kita bentuk. Sangatlah sulit membuat seorang yang sehari-harinya cemberut untuk selalu tersenyum (Sekalipun kita mengoperasi mulutnya untuk terlihat tersenyum-rasanya malah akan terlihat aneh-).  

Untuk itu banyak perusahaan yang menerapkan recruitment tools  di bagian HRD untuk mencari dan menyaring orang-orang yang punya standard karakter dasar seperti yang mereka inginkan. Ada satu cerita, seorang pelamar pekerjaan diterima karena ketika dia melihat ada sampah yang jatuh diluar tempat sampah, memungutnya dan memasukannya ke tempat sampah.  

Sesuatu yang lahir dari inisiatif, tanpa disuruh, dan telah menjadi habbit pasti akan lebih berharga. Dalam kasus pujian ini, recruitment tools harus diarahkan mencari orang-orang yang memang bisa ‘mengapresiasi’ orang lain secara inisiatif, menjadi kebiasaan dirinya untuk selalu menghargai orang lain dalam hal yang sekecil apapun.

Sebagai seorang yang sangat erat dengan masalah estetika saya secara naluri memperhatikan detil hal-hal yang berbau estetika pada orang lain, seperti apa yang orang pakai, punya, kenakan, dsb.  

Jika ada hal yang menurut saya indah, saya tidak segan untuk memuji meskipun orang itu baru saya kenal. Hal itu bukan untuk ‘cari muka’ ataupun apapun sekedar basa-basi, tapi menurut saya semua yang indah itu menyenangkan dan saya ingin membagikan kesenangan itu dengan orang lain.

Jadi carilah orang-orang yang bisa mengapresiasikan kebaikan orang lain untuk mendukung brand Anda.

Bagaimana agar pujian itu tulus? Kita akan memuji dengan tulus jika kita tahu apa orang lain lakukan bagus ‘menurut pengalaman kita’.  Jika kita melihat seseorang dengan baju yang bagus dan kita memujinya berarti menurut pengalaman kita –apa yang telah kita lihat, kita rasakan– kita merasa hal itu bagus. Jadi faktor experience menjadi penting disini. Kita telah membandingkan satu dan lainnya dan menurut kita criteria tertentu adalah bagus. Selain itu faktor ‘stickiness’ terhadap sebuah experience juga tak kalah penting.

Orang-orang yang punya ‘deep passion’ dengan sesuatu hal akan cenderung lebih senang untuk menceritakan pengalamannya ketika kita bertanya tentang hal tersebut. Contohnya saya punya seorang teman yang sangat passionate dengan bidang fotografi.

Ketika saya bertanya kepadanya tentang kamera dia akan menjelaskannya hingga ‘berbusa-busa’ tanpa diminta. Dan kadang dia memuji jika apa yang saya beli adalah barang yang bagus menurut dia. Dan saya senang mendengarnya karena saya tahu apa yang dia katakan adalah benar sesuai segudang ‘experience’ yang dia miliki.

Pujian adalah seperti piala penghargaan. Ia adalah tanda sebuah prestasi. Prestasi di sini dapat dalam bentuk prestasi besar ataupun prestasi kecil. Intinya pujian ‘memisahkan’ seseorang yang dipuji  bahwa dia ‘spesial’ dibanding orang-orang sekitarnya. Ketika sebuah pujian yang sama diberikan kepada Anda juga diberikan kepada setiap orang apakah pujian ini akan berarti lagi untuk Anda?

Kesimpulannya adalah, memberikan pujian kepada pelanggan Anda itu baik, karena menjawab kebutuhan dasar manusia. Tapi ketika pujian itu kehilangan esensinya sebagai sesuatu yang tulus, berangkat dari pengalaman, tidak berasal dari passion, dan bukan merupakan bentuk penghargaan yang khusus, ia akan kehilangan maknanya, dan orang akan menganggapnya sekedar basa basi atau di sisi paling ekstrim sebagai suatu kepalsuan.

Jadi mari sesuaikan SOP service Brand Anda tentang pujian untuk menjawab keadaan ini.

Mendiola B. Wiryawan

Brand Experience Designer, Penulis Kamus Brand